A. PENGANTAR

A.  Pengantar

Pada bulan Agustus tahun 1995 saya diundang untuk ikut dalam acara debat dengan tema usulan, "Apakah Quran Pewahyuan Ilahi?" dengan Dr Jamal Badawi. Perdebatan tersebut berlangsung di Trinity College, Cambridge, dan setelah paparan kami selesai disajikan perdebatan dibuka untuk audiens selama satu jam pertanyaan baik dari Muslim dan Kristen yang hadir. Berikut adalah isi dari makalah, yang saya berikan dalam debat, serta materi lebih lanjut, yang saya digunakan dalam sesi tanya jawab, dan data lebih lanjut, yang telah saya keluarkan pada saat sesi debat. Karena ketertarikan yang ditunjukkan pada topik itu, kami telah menempatkan makalah ini bersama dengan sepuluh masalah apologetik lainnya, dan beberapa sanggahan muslim terhadap materi itu, serta sejumlah 99 Traktat Kebenaran populer di situs-web, di internet (silakan mengaksesnya di : http://www.domini.org/debate/home.htm).

Harapan kami adalah bahwa materi debat di situs web ini dapat menyebar ke seluruh dunia, dan membantu untuk menghidupkan dialog yang telah
dimulai dalam Debat Cambridge. (Catatan: Saya telah mencoba untuk memberi  catatan kaki pernyataan-pernyataan yang terbukti menjadi sumber perdebatan, atau yang akan merangsang pembaca untuk mencari data lebih lanjut. Saya telah menggunakan model Harvard, yang dimulai dengan nama penulis, diikuti dengan tanggal publikasi, dan nomor halaman).

Mari kita mulai pelajaran kita. Islam mengklaim bahwa Al Qur'an bukan
hanya Firman Tuhan, tetapi ia adalah wahyu terakhir diberikan kepada manusia. Qur’an datang dari "Ibu dari segala kitab" menurut Surah 43:2-4. Muslim mempertahankan keyakinan bahwa Qur'an adalah salinan yang tepat kata perkata dari pewahyuan Allah yang terakhir, yang ditemukan di naskah asli yang selalu tersimpan di surga. Mereka merujuk pada Surah 85:21-22, yang berbunyi :

Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al- Quranul Majid yang tersimpan dalam Lauh Mahfuz. (QS 85:21-22) Ulama Islam berpendapat bahwa bagian ini mengacu pada kitab yang tidak pernah dibuat. Mereka percaya bahwa Qur'an adalah salinan identik dari buku surgawi yang kekal, bahkan sejauh tanda baca, judul dan divisi dari bab yang bersangkutan.
Menurut tradisi Muslim, "wahyu-wahyu ini mulai diturunkan (Tanzil atau Nazil) (Surah 17:85), dari level terendah dari surga tujuh lapis di bulan
Ramadhan, pada malam Lailatul Qadar (Pfander, 1910:262). Dari sana wahyu-wahyu ini diturunkan kepada Muhammad secara berangsur, seiring
dengan munculnya kebutuhan akan suatu hal, melalui malaikat Jibril (Surah 25:32). Akibatnya, setiap huruf dan setiap kata bebas dari pengaruh manusia, yang memberikan Al Qur’an aura otoritas, bahkan kekudusan, dan dengan demikian, integritas.

Kebanyakan orang Barat selama ini menerima klaim ini dari umat Islam sebagai penakdiran. Mereka tidak pernah memiliki kemampuan untuk berdebat lewat kejujuran mereka, karena klaim-klaim tersebut tidak bisa dibuktikan atau dibantah sebab otoritasnya berasal hanya dari Al Quran itu sendiri (termasuk merontokkan klaim muslim tentang terpenuhinya nubuatan-nubuatan Alkitab dalam Ulangan 18 , Yohanes 14, 16 oleh Muhammad, dan mungkin lainnya). Pula telah terjadi keengganan untuk mempertanyakan Qur'an dan Muhammad karena respon negatif dari umat Islam yang diarahkan kepada mereka yang cukup berani untuk mencobanya di masa lalu. Faktanya adalah bahwa Sarjana Barat telah terlalu lama menyenangkan dirinya dengan mengasumsikan bahwa umat Islam memiliki bukti dan data untuk mendukung klaim mereka. Baru sekarang ini, ketika para cendekiawan sekuler tentang Islam (dikenal sebagai " Para Orientalis") menguji kembali sumber-sumber Islam, bahwa bukti tengah ditemukan yang mengarah pada pertanyaan yang jauh dari apa yang kepadanya kita telah dituntun untuk percaya; tentang Muhammad dan wahyu-Nya, yakni Qur'an.

Temuan para sarjana ini menunjukkan bahwa Al Qur'an bukan diturunkan pada satu orang, tetapi merupakan kompilasi dari redaksi (atau edisi) yang
terkemudian yang dirumuskan oleh sekelompok orang, selama lebih dari beberapa ratus tahun (Rippin 1985:155 dan 1990:3,25, 60). Dengan kata lain, Al Qur’an yang kita baca sekarang tidak sama dengan Quran yang ada di pertengahan abad ketujuh , tapi mungkin lebih dari sebuah produk dari abad kedelapan dan kesembilan (Wansbrough 1977:160- 163). Pada jaman kurun waktu itu, para orientalis mengatakan, khususnya pada abad kesembilan, bahwa Islam mengambil identitas klasik dan menjadi apa yang dikenal saat ini. Akibatnya mereka berpendapat bahwa tahap pembentukan Islam terjadi tidak pada jaman ketika Muhammad hidup, tapi berkembang selama 200-300 tahun (Humphreys 1991:71, 83-89).

Sumber bahan yang merujuk pada kurun waktu itu, bagaimanapun, adalah jarang. Pada dasarnya satu-satunya sumber yang tersedia bagi para sejarawan adalah sumber-sumber muslim. Terlebih lagi di luar Al Qur’an, semua sumber merupakan produk yang terkemudian. Sebelum 750 M kita tidak memiliki dokumen muslim yang bisa diverifikasi yang dapat memberi kita jendela ke masa pembentukan Islam (Wansbrough 1978:58-59). Tidak
ada yang dapat digunakan untuk menguatkan materi Tradisi Muslim (yaitu, sejarah Islam berdasarkan tradisi mereka). Dokumen terkemudian hanya
memanfaatkan dokumen-dokumen sebelumnya, yang tidak ada lagi pada kita saat kita ini (jika memang mereka sama sekali ada) (Crone 1987:225-226; Humphreys 1991:73). Periode Klasik ini (sekitar 800 M) menggambar-kan periode sebelumnya, tetapi dari  sudut pandangnya sendiri, sama seperti orang dewasa yang menulis tentang masa kecil mereka, mereka akan cenderung mengingat momen-momen menyenangkan saja. Dengan demikian catatan tradisi Islam sudah diwarnai dan bias, dan tidak dapat diterima sebagai otentik oleh para ahli sejarah (lihat studi Crone tentang masalah tradisi, "terutama yang tergantung pada pendongeng lokal, di Meccan Trade ... 1987, pp.203-230 dan Slaves on Horses, 1980,hlm 3-17).

Akibatnya, garis demarkasi antara apa yang sejarawan terima dan apa yang Tradisi Muslim pertahankan melebar lebih lanjut karena alasan
berikut: Islam, menurut ulama Muslim ortodoks, memberikan kepercayaan penuh untuk intervensi ilahi bagi wahyunya. Tradisi Muslim menegaskan bahwa Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad melalui malaikat Jibril (Gabriel) selama dua puluh dua tahun (610-632 M), dimana pada masa itu banyak hukum dan tradisi yang menggambarkan apa yang kita definisikan sebagai Islam dirumuskan dan berlangsung.

Namun skenario inilah yang sejarawan sekuler tolak keras saat ini, sepertinya klaim ini mengandaikan bahwa pada abad ketujuh awal, Islam, sebuah agama dengan kecanggihan yang luar biasa, dengan hukum dan tradisi yang rumit dirumuskan dalam budaya nomaden yang terbelakang dan secara penuh berfungsi hanya dalam 22 tahun.

Sebelum jaman itu, Hijaz (Arabia pusat saat itu) hampir tidak pernah dikenal di dunia beradab. Bahkan tradisi terkemudian merujuk pada periode ini sebagai Jahiliyyah (atau periode kebodohan - menyiratkan keterbelakangannya). Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki budaya kota (urbandized culture), juga tidak mungkin membanggakan infrastruktur canggih yang dibutuhkan untuk menciptakan, apalagi mempertahankan skenario yang dilukis oleh tradisi-tradisi terkemudian sebagai periode awal Islam (Rippin 1990:3-4). Jadi, bagaimana mungkin ia datang secara serentak begitu rapi dan begitu cepat? Tidak ada preseden sejarah untuk skenario semacam ini. Kita akan mengharapkan derajat kecanggihan itu tercipta selama satu atau dua abad, sepanjang ada sumbersumber lain, seperti budaya yang melingkupinya dari mana tradisi dan hukum bisa dipinjam, tapi jelas tidak mungkin lingkungan padang pasir yang tidak canggih dan terbelakang, dan jelas tidak mungkin dalam periode dari 22 tahun saja.

Sejarawan sekuler tidak bisa begitu saja menerima posisi yang diasumsikan oleh tradisi-tradisi terkemudian bahwa semua ini muncul melalui wahyu ilahi, karena mereka berpegang bahwa seluruh sejarah harus disertai dengan bukti sejarah. Mereka dipaksa untuk tenang dan bertanya bagaimana kita tahu apa yang kita tahu, di mana informasi tersebut berasal, dan apakah ini ada karena suatu ‘bias’ atau analisis sejarah netral.

Oleh karena itu, para sejarawan, telah didorong ke dalam dilema. Sebab lewat presuposisi sekuler mereka tidak bisa mendasarkan penelitian mereka atas dasar keberadaan Tuhan, namun mereka tidak bisa membuang elemen Tradisi Muslim (yang tentu mengandaikan keberadaan-Nya), karena sumber tradisi ini adalah adalah yang terbaik yang dimiliki dan kadang-kadang hanya itulah dokumen yang tersedia.

Itulah yang terjadi sampai saat ini.

Sederet ahli sejarah baru tentang Islam (seperti Dr John Wansbrough, Michael Cook [keduanya dari SOAS], Patricia Crone, yang sebelumnya dari Oxford sekarang mengajar di Cambridge, Yehuda Nevo dari University of Jerusalem, Andrew Rippin dari Kanada, dan lain-lain), sementara mengakui bahwa ada suatu misteri bekenaan dengan pertanyaan mengenai intervensi ilahi, sekarang melihat lebih dekat pada sumber-sumber lain tentang Al-Quran untuk memastikan petunjuk untuk asal-usulnya. Adalah sumber-sumber ini yang kini mulai mengungkapkan bukti penjelasan alternatif awal dari sebuah agama yang saat ini dianut seperlima populasi dunia, dan juga tumbuh lebih cepat dari agama besar lainnya.

Dengan demikian, adalah hasil karya mereka yang akan saya gunakan untuk memahami dengan lebih baik asal-usul yang memungkinkan dari Al
Qur'an. Ini adalah materi mereka, dan teman sejawat lainnya, yang saya rasa para apologetis Muslim harus hadapi secara serius dalam tahun-tahun mendatang, sebanyak ini data baru yang secara serius meragukan banyak klaim diteruskan oleh para sarjana Muslim tradisional tentang kitab suci mereka, Al Qur'an, dan Muhammad. Untuk itu mari kita mulai analisis kita dengan melihat pada sumber-sumber yang kita ketahui yang menyoal Islam, nabi dan kitabnya.