D. Kritik Eksternal Terhadap Qur'an

D.  Kritik Eksternal Terhadap Quran

Untungnya kita tidak sepenuhnya bergantung pada sumber-sumber muslim yang terlambat ini atau pada Al Qur'an itu sendiri untuk mengetahui asal-usul quran dan islam. Ada orang lain yang hidup pada waktu itu, yang tinggal dekat dengan kejadian dan telah meninggalkan kita bahan-bahan yang dapat kita gunakan. Bukti-bukti non-Muslim ditemukan dalam serangkaian naskah literature dalam bahasa Yunani, Syria, Armenia, Ibrani, Aram, dan Koptik dari masa penaklukan (abad ketujuh) dan seterusnya (Crone 1980:15). Kita juga memiliki sejumlah besar tulisan Arab sebelum tanggal tradisi Muslim (Nevo 1994:109). Namun, semua naskah ini tampaknya banyak yang bertentangan dengan apa yang tradisi islam dan Al Qur'an katakan. Dan inilah bahan yang telah terbukti paling membantu dalam menilai apakah Al-Qur'an adalah Firman yang benar dan yang terakhir dari Allah. Adalah naskah-naskah ini yang umat Islam perlu perhatikan di masa depan, dan harus mereka jawab. Mari kita melihat apa yang dikatakan oleh dokumen-dokumen ini:


D.1. Hijrah

Sebuah papirus tertanggal 643 Masehi telah ditemukan yang berbicara mengenai tahun ”dua puluh dua” yang menyarankan sesuatu terjadi pada tahun 622 M diantara orang Arab yang bertepatan dengan tahun dari hijrah (Cook 1983:74). Apa yang sebenarnya terjadi kita tidak yakin benar, sebab papirus ini tidak memberitahu kita. Mungkinkah ini tanggal Muhammad pindah dari Mekah ke Madinah, dan tidak lebih dari itu, atau apakah tahun pada saat penaklukan Arab dimulai ? Sementara tradisi Islam menyebutkan Hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka tidak dapat memberikan sumber awal (dengan kata lain sumber pada abad ketujuh) yang akan menguatkan historisitas hijrah ini (Crone-Cook 1977:160). Naskah awal yang kita miliki adalah sebuah biografi Arab dari nabi yang dibuktikan dalam papirus periode akhir Umayyah, yang berkisar tahun 750 M, 100 tahun lebih kemudian (Grohmann 1963:71).

Bahan Arab yang kami miliki (koin, papirus, tulisan) semua menghilangkan nama periode (batu nisan yang tanggal tahun 29 H tersebut, yang banyak dikutip oleh Muslim, dikenal hanya dari sumber sastra yang datang belakangan. Naskah-naskah Yunani dan Syria menyebut era tersebut tentang orang Arab, tetapi dua dokumen gerejawi Nestorian dari 676 M dan 680 M yang memberi kita titik awal sebagai emigrasi orang Isma'il bukan dari satu tempat ke tempat lain di Arab (yaitu dari Mekkah ke Medinah), tapi dari Arab ke Tanah Perjanjian (Crone-Cook 1977:9, 160-161).

Dan apakah tanah yang dijanjikan ini ? Sebuah tradisi Islam yang disusun oleh Abu Dawud memberi kita petunjuk. Ia mengatakan, "akan ada hijrah setelah hijrah, 'tapi sebaik-baiknya manusia adalah yang mengikuti hijrah' Ibraham" (Abu Dawud 1348:388). Sementara beberapa Muslim mempertahankan bahwa ini harus dipahami secara teologis yaitu menyiratkan gerakan Ibraham dari penyembahan berhala ke tauhid, saya pikir lebih baik mempertahankan pemahaman Al kitab Yahudi yaitu Eksodus Abraham dari Ur-Kasdim ke tanah Kanaan, melalui Haran (Kejadian 11:31-0:05). Jadi tampaknya lebih mungkin bahwa tanah yang dijanjikan untuk kaum Arab beremigrasi tidak lain dari garis pantai Syro-Palestina: dari Sidon ke Gaza dan pedalaman, ke kota-kota Laut Mati Sodom dan Gomora (Kitchen 1993:164). Patricia Crone, dalam artikel terbarunya berjudul 'Satu Abad Pertama Setelah Hijrah', menemukan dukungan yang menarik untuk Hijrah keluar Arab. Dalam artikel dia mendaftarkan 57 bukti penguat yang berasal dari dalam dan luar tradisi Muslim, yang menunjuk pada Hijrah, atau eksodus, bukan dari Mekah ke Madinah, tetapi dari Arab ke utara, atau kota-kota sekitar garnisun (Crone 1994:355-363). Ini memang menarik, karena banyak dari apa yang akan kita pelajari di sini akan paralel dan menguatkan temuan-temuan ini juga.

Informasi mengenai Hijrah ini memberi kita bukti potensial pertama yang menunjukkan bahwa banyak data yang ditemukan dalam Qur'an dan tradisi Islam ternyata tidak sesuai dengan apa yang sumber-sumber eksternal katakan, dan bahwa mungkin ada agenda lain yang bekerja di sini. Karena itu marilah kita lanjutkan untuk menemukan apa agenda itu.


D.2.  Kiblat

Menurut Qur'an segera setelah Hirah arah doa atau kiblat ditetapkan menghadap mekkah. Penanggalannya kira-kira tahun 624 M (lihat Surah 2:144, 149-150). Namun, bukti paling awal dari luar tradisi Muslim yang berkaitan dengan arah kiblat, yang berimplikasi dengan lokasi tempat suci mereka, mengacu pada tempat yang jauh lebih ke utara dari Mekkah, bahkan di suatu tempat di barat-laut Arabia (Crone-Cook 1977: 23). Pertimbangkan bukti arkeologi yang telah dan masih terus terungkap dari masjid-masjid pertama yang dibangun pada abad ketujuh.

Menurut penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Creswell dan Fehervari pada masjid-masjid kuno di Timur Tengah, rencana mesjid dua lantai dari masjid Umayyah di Irak, yang dibangun oleh gubernur Hajjaj di Wasit (dicatat oleh Creswell sebagai, "masjid tertua Islam yang diwarisi kepada kita"- Creswell 1989:41), dan yang lainnya yang sezaman dengannya dekat Baghdad, memiliki kiblat yang tidak menghadapi Mekah, tetapi berorientasi terlalu jauh di utara (Creswell 1969:137 ff & 1989:40; Fehervari 1961:89; Crone-Cook 1977:23,173). Masjid Wasit melenceng sekitar 33 derajat dan Mesjid Baghdad melenceng sekitar 30 derajat (Creswell 1969:137 ff; Fehervari 1961:89).

Temuan ini selaras dengan dengan kesaksian Baladhuri's (yang disebut Futuh) bahwa Kiblat masjid pertama di Kufa, Irak, yang seyogyanya dibangun pada 670 AD (Creswell 1989:41), juga terletak di sebelah barat, yang seharusnya langsung menunjuk ke selatan (ke Mekkah) (al -Baladhuri 's Futuh, ed oleh de Goeje 1866:276;. Crone 1980:12; Cook Crone-1977:23,173).

Proyek rencana-asli dari Masjid Amr bin al As, yang terletak di Fustat, kota garnisun di luar Kairo, Mesir menunjukkan bahwa kiblat lagi menunjuk terlalu jauh ke utara dan harus diperbaiki kemudian di bawah gubernur Qurra bin Sharik (Creswell 1969:37, 150). Menariknya ini selaras dengan tradisi Islam kemudian yang disusun oleh Ahmad bin al-Maqrizi yang berdoa sedikit menghadap ke tenggara, dan bukan ke arah selatan (1326:6 al-Maqrizi; Crone-Cook 1977:24,173).

Jika Anda mengambil peta Anda akan menemukan kemana titik yang masjid-masjid ini tunjuk asalnya. Keempat contoh yang ditunjukan di atas mengarahkan posisi kiblatnya tidak menuju Mekkah, tapi lebih jauh ke utara, sebenarnya lebih dekat ke sekitar Yerusalem. Jika, sebagian Umat Islam sekarang mengatakan, seseorang tidak harus mengambil temuan ini terlalu serius, sebab banyak masjid bahkan sampai saat ini arah kiblat yang masih salah arah, maka kita harus bertanya-tanya mengapa, jika kaum muslim saat itu begitu mampu memastikan arah, mengapa mereka semua menunjuk ke sebuah lokasi tunggal, untuk suatu tempat di Arabia utara, atau mungkin Yerusalem?

Kami menemukan bukti yg menguatkan lebih lanjut untuk arah kiblat ini dari seorang penulis Kristen dan pelancong Yakub dari Edessa, yang menulis hingga akhir 705 M. Dialah saksi mata kontemporer di Mesir. Dia mengatakan bahwa kaum Mahgraye 'i Mesir berdoa menghadap ke timur ke arah Kabah (Crone-Cook 1977:24). Surahtnya (yang dapat ditemukan di British Museum) memang mengungkapkan sesuatu. Ketika menulis di Syria, ia mengacu pada Mahgraye, dan berkata, "Jadi dari semua ini adalah jelas bahwa tidak ke selatan bahwa orang Yahudi dan Mahgraye di daerah Suriah sini berdoa, tetapi ke arah Yerusalem atau Kakbah, tempat patriarkal ras mereka" (Wright 1870:604).

Catatan: Penyebutan dari Ka'bah tidak selalu merujuk ke Mekah (sebagaimana kaum Muslim langsung mengacu ke kabaah di Mekkah), karena ada Kabbah-kabbah lain yang ada selama waktu itu, biasanya di pasar-kota (Crone-Cook 1977 : 25.175). Creswell, dalam catatan buku tentang 'Arsitektur Muslim awal' (halaman 17) merujuk pada artikel Finster's, 'Kunst des Orients', yang menyatakan bahwa Finster menuliskan:
"... Menarik perhatian untuk bangunan berbentuk kubus lainnya di Arab, disebutkan dalam sastra Arab awal, dan menyarankan bahwa Kabbah sehingga bisa menjadi bagian dari tradisi bangunan Arab" (Creswell 1969:17; Finster 1973:88-98).

Adalah menguntungkan untuk membangun Ka'bah di pasar kota ini sehingga orang yang datang ke pasar juga bisa melakukan ziarah atau penyesalan kepada dewa yang ada di dalamnya. Kabbah yang dirujuk oleh Yakub dari Edessa mengacu terletak di "tempat bapak bangsa-bangsa", yang dia juga mempertahankan tidak di selatan. Baik Yahudi dan Arab (Mahgraye) mempertahankan keturunan bersama dari Abraham yang diketahui telah tinggal dan meninggal di Palestina, sebagaimana telah dikuatkan oleh penemuan-penemuan arkeologi baru-baru ini (lihat diskusi di Ebla, Mari dan tablet Nuzi, serta tambahan referensi Alkitab abad kesepuluh kepada Abraham McDowell 1991:98-104). Hal keturunan bersama dari Abraham ini juga dikuatkan oleh penulis sejarah Armenia sedini 660 AD (Sebeos 1904:94-96; Crone-Cook 1977:8; Cook 1983:75).

Oleh karena itu, menurut Yakub dari Edessa, hingga akhir 705 AD arah doa menuju Mekah belum dikanonisasi. Pada tahun 1994 Dr Crone dalam artikelnya "Seabad Tentang Konsep Hijrah', menambah satu lagi temuan yang bisa menyiratkan Yerusalem sebagai kiblat awal Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Patricia Carlier di istana musim panas Khalifah Umayyah mencatat bahwa masjid di istana ini menunjuk Yerusalem sebagai arah kiblat juga. (Carlier 1989:118 f, 134)

Menurut Dr Hawting, yang mengajar Sumber-sumber Islam di SOAS, London, tidak ada masjid yang telah ditemukan dari periode ini (abad ketujuh) yang menghadap ke arah Mekkah (mencatat dari kelas kuliahnya pada tahun 1995). Namun Hawting memperingatkan bahwa tidak mengarahkan kiblat melainkan ke Yerusalem. Beberapa masjid Yordania menghadap ke utara, sementara ada masjid Afrika Utara mengarahkan kiblatnya ke Selatan, yang menyiratkan bahwa ada beberapa kebingungan ke mana tempat suci itu berada. Namun, Al Qur’an menyiratkan bahwa arah kiblat itu telah ditetapkan ke Mekkah pada tahun 624, dan tetap arahnya sampai sekarang ! (pent : berarti ada ketidak-akuratan sejarah dari pencatatan Al Qur’an ini, sebab sampai hampir 100 tahun, arah kiblat kebanyakan mesjid mengarah ke Yerusalem).
Jadi, menurut Crone, Cook, Carlier dan Hawting, kombinasi bukti arkeologi dari Irak bersama dengan bukti sastra dari Suriah dan Mesir secara bulat mengacu kepada tempat suci yang bukan di Selatan, melainkan di Barat Laut Arabia (bahkan jauh ke utara) setidaknya sampai akhir abad ketujuh. (Crone-Cook 1977:24).
Apa yang terjadi di sini? Mengapa Kiblat dari masjid-masjid awal tidak menghadap ke Mekkah? Mengapa ada perbedaan antara Qur'an dan temuan arkeologi serta dokumen-dokumen yang terungkap hingga akhir 705 AD ?

Beberapa Muslim berpendapat bahwa mungkin kaum Muslim awal tidak mengetahui arah Mekah. Namun ingatlah bahwa mereka adalah pengembara padang gurun ! penghidupan mereka tergantung pada perjalanan padang pasir, yang hanya memiliki sedikit tonggak petunjuk, dan, karena badai pasir, tidak ada jalan. Di atas segalanya mereka tahu bagaimana mengikuti bintang-bintang. Kehidupan mereka tergantung pada hal itu. Tentu mereka tahu perbedaan antara utara dan selatan.

Selain itu, masjid di Irak dan Mesir dibangun di daerah perkotaan beradab, antara orang-orang modern saat itu yang juga mahir dalam menemukan arah. Sangat tidak mungkin jika mereka salah menghitung kiblat dengan derajat begitu banyak. Bagaimana pula mereka melakukan ibadah yang konon diwajibkan pada saat nabi masih hidup juga ? (pent - haji jika arah kiblatnya saja mengacu ke tempat yang begitu jauh dari Mekkah) Dan mengapa begitu banyak masjid menghadap ke arah utara Arabia, atau mungkin Yerusalem ?

Jawabannya mungkin ada di tempat lain. Saya berpendapat bahwa ada kemungkinan dua alasan untuk perbedaan ini :
1.   bahwa masih ada hubungan baik antara kaum Arab (yang disebut Hagarin, Saracen atau Mahgraye) dengan kaum Yahudi, dan untuk itu tidak diperlukan mengganti kiblat (yang bahkan Al Qur’an sendiri akui tadinya menghadap Yerusalem Surah 2); dan
2.   bahwa Mekkah belum dikenal.
Pertimbangkan ini:


D.3.  Kaum Yahudi

Al-Qur'an menunjukkan bahwa Muhammad memutuskan hubungannya dengan orang Yahudi pada tahun 624 M (atau segera setelah Hijrah pada tahun 622 M), dan kemudian memindahkan kiblat pada waktu itu (QS 2:144, 149-150). Namun sumber-sumber non-Muslim awal menggambarkan hubungan yang baik antara Muslim dan Yahudi pada saat penaklukan pertama (akhir 620an) dan bahkan kemudian.

Doktrina Iacobi

Kita ambil contoh kesaksian awal Muhammad dan gerakannya yang tersedia bagi kita di luar tradisi Islam, yakni sebuah traktat anti-Yahudi berbahasa Yunani disebut Iacobi Doctrina yang ditulis di Palestina antara 634 dan 640M (Brock 1982:9; Crone-Cook 1977:3). Traktat itu memperingatkan tentang orang Yahudi yang bercampur dengan Saracen, dan betapa bahaya jatuh ke tangan orang-orang Yahudi dan Saracen (Bonwetsch 1910:88; Cook 1983:75). Pada kenyataannya, hubungan ini tampaknya menafaskan hak penundukan Yerusalem oleh kaum Yahudi dan Arab karena sumber Armenia awal menyebutkan bahwa gubernur Yerusalem pasca penaklukan adalah seorang Yahudi (Patkanean 1879:111; Sebeos 1904:103).
Yang penting di sini adalah kemungkinan bahwa orang-orang Yahudi dan Arab (Saracen) tampaknya bersekutu selama masa penaklukan Palestina dan bahkan untuk waktu yang singkat setelah (Crone-Cook 1977:6).

Dalam Doctrina Iacobi keintiman aliansi Yahudi - Arab ini kembali dibuktikan dengan indikasi adanya permusuhan terhadap kekristenan di beberapa bagian wilayah penaklukan. Menurut Bonwetsch, naskah ini menyebutkan seorang Yahudi Kristen yang protes bahwa ia tidak akan menyangkal Kristus sebagai anak Allah bahkan jika orang-orang Yahudi dan Saracen menangkapnya dan memotong dia untuk potong (Bonwetsch 1910:88). Hal ini jelas bahwa penulis percaya bahwa orang-orang Arab dan Yahudi berada di aliansi secara rukun dalam penaklukannya.

Keaslian akun ini ditegaskan oleh kompilator besar Sirah Muhammad, Muhammad ibn Ishaq, dalam dokumen yang dikenal sebagai Konstitusi Madinah. Dalam dokumen ini orang-orang Yahudi ditampilkan sebagai satu elemen pembentuk masyarakat (ummah) bersama dengan kaum beriman (islam) meskipun mereka memeluk agama mereka sendiri dan tersebar di antara sejumlah suku Arab (Gottingen 1859:342; Guillaume 1955:233; Crone-Cook 1977:7 ). Karena, menurut baik Crone dan Cook dokumen ini salah satu unsur yang paling kuno dari tradisi Islam, kesesuaian dengan catatan eksternal awal asal-usul Islam ini sangat signifikan (Crone-Cook 1977:7).

Jika saksi-saksi dokumen ini benar, maka kita harus bertanya bagaimana bisa kaum Yahudi dan Saracen (Arab) bersekutu sampai setidaknya 640 M, manakala menurut Al-Qur'an, Muhammad memutuskan hubungan dengan orang-orang Yahudi sejak 624 AD, lebih dari 15 tahun yang sebelumnya ?

Kitab Sejarah Armenia tahun 660 M

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita perlu merujuk kepada catatan yang berkaitan dengan karir awal sang nabi, yang tertulis dalam Dokumen Sejarah Armenia ditulis oleh Uskup Sebeos sekitar tahun 660 M, (Sebeos 1904:94-96; Crone-Cook 1977 : 6). Penulis sejarah ini menjelaskan bagaimana Muhammad mendirikan sebuah komunitas yang terdiri dari kaum Isma'il (Arab misalnya) dan Yahudi, dan bahwa platform bersama mereka adalah sebagai sesama keturunan Abraham, Arab melalui Isma'il, dan Yahudi melalui Ishak (Sebeos 1904:94-96; Crone - Cook 1977:8; Cook 1983:75). Penulis sejarah percaya bahwa Muhammad telah memberkahi kedua masyarakat ini dengan hak kesulungan ke Tanah Suci, sementara secara bersamaan mengajarkan mereka dengan silsilah monoteis (Crone-Cook 1977:8). Ini bukan tanpa preseden sebab idea tentang hak kesulungan Isma'il ke Tanah Suci itu sebelumnya dibahas dan ditolak di kitab Genesis Rabbah (61:7), di Talmud Babilonia dan dalam Kitab Yobel (Crone-Cook 1977:159).

Dengan demikian visi Muhammad bukan hanya Arab, tetapi berorientasi pada Palestina, dan secara istimewa bersama dengan kaum Yahudi (Crone-Cook 1977:8), menurut karya yang dilakukan oleh JB Chabot secara independent dikuatkan dalam tradisi Sejarah Yakobit (Chabot 1910:405).

Yang menarik, menurut penelitian yang dilakukan oleh Crone dan Cook, orientasi Palestina bertahan bahkan dalam tradisi islam yang kemudian, dimana Palestina disamarkan sebagai Suriah (Crone-Cook 1977:158). Kita hanya perlu mengacu pada tulisan Abu Dawud Sulayman bin al-Ash'ath al-Sijistani, dan Ahmad bin Muhammad bin Hanbal untuk menemukan bahwa nabi merekomendasikan Suriah sebagai lahan yang dipilih oleh Allah untuk memilih hamba-hamba-Nya (Abu Dawud ... 1348:388; Ahmad bin Muhammad bin Hanbal 1313:33 f; Munajid 1951:47-74). Kesimpulan ini juga cocok dengan pernyataan yang disebutkan sebelumnya oleh Crone tentang Hijrah Arab, atau eksodus, dari Arab ke utara, bukan hanya antar kota di Arabia, yaitu Mekkah ke Madinah. Perpecahan antara Yahudi dan Arab, menurut penulis sejarah Armenia dari 660 AD, datang segera setelah penaklukan Yerusalem dari 640 AD (Sebeos 1904:98).

Sekali lagi kita menemukan sejumlah sumber non-muslim bertentangan dengan Al Qur'an, yang mempertahankan bahwa ada hubungan yang baik antara Arab dan Yahudi untuk setidaknya lebih dari 15 tahun melampaui apa yang Al Qur’an tuliskan.
Jika Palestina adalah fokus bagi kaum Arab, maka keberadaan kota Mekkah patut dipertanyakan.


D.4. Mekkah

Muslim mempertahankan bahwa "Mekah adalah pusat Islam, dan pusat sejarah." Menurut Al-Qur'an, "Tempat suci pertama yang ditunjuk untuk umat manusia adalah Bakkah (atau Mekah), tempat yang diberkati, menjadi petunjuk bagi bangsa-bangsa" (QS 3:96). Dalam Surah 6:92 dan 42:5 kita menemukan bahwa Mekah adalah "ibu dari semua permukiman".

Menurut tradisi Muslim, Adam menempatkan batu hitam di Ka'bah asli sana, sedangkan menurut Al-Qur'an (QS 2:125-127) itu adalah Abraham dan Ismail yang membangun kembali Kabah beberapa tahun sesudahnya. Hal ini berimplikasi bahwa Mekah dianggap oleh umat Islam sebagai kota pertama dan paling penting di dunia!

Terlepas dari kesulitan yang jelas dalam mencari bukti dokumenter atau arkeologi apapun bahwa Abraham 
pernah pergi ke atau tinggal di Mekah, masalah utama terletak dalam menemukan setiap rujukan untuk kota sebelum kemunculan Islam. Dari riset yang dilakukan oleh baik Crone dan Cook, rujukan awal dan satu-satunya kepada Mekkah adalah adanya sebuah kesimpulan kepada sebuah kota yang bernama "Makoraba" oleh Ptolemeus seorang ahli bumi Yunani-Mesir di pertengahan abad ke-2. Meskipun kita bahkan tidak yakin apakah penyebutan tempat ini oleh Ptolemy mengacu pada Mekah atau bukan, karena ia hanya menyebutkan namanya secara sepintas.

Selanjutnya, menurut Dr Crone, tiga huruf akar bahasa Arab untuk Mekah (MKK) sama sekali tidak sesuai dengan tiga akar huruf Arab untuk Makoraba (KRB) (karena huru 'ma-' yang mendahului 'koraba' menandakan 'tempat'). Dengan demikian, sama sekali tidak ada laporan tentang Mekah atau Kabbah di dokumen kuno otentik ! Itu berlaku sampai akhir abad ketujuh (Cook-74; Crone-Cook 1977:22). Bahkan, mereka mempertahankan, "referensi paling awal ditemukan di satu versi kitab Apokalips Psude-Metodius versi bahasa Siriah (Crone-Cook 1977:22,171).

Namun, walaupun kitab apokalips itu sendiri berasal dari akhir abad ketujuh, referensi ke Mekah hanya ditemukan di salinan terkemudian, dan tidak hadir dalam tradisi Eropa atau tradisi Suriah belakangan, dan tidak pernah ada dalam Codex Vatikan, 'yang oleh etymologis anggap sebagai teks paling awal (rujukan diskusi pada pembahasan lihat catatan antara Nau dan Kmosko pada catatan "7", hal. 171, dalam Crone & Cook, Hagarism: 1977).

Referensi selanjutnya ke Mekah, menurut Crone dan Cook, muncul di Continuatio Byzantia Arabika, yang merupakan sumber yang berasal dari awal masa pemerintahan khalifah Hisyam, yang memerintah antara 724-743 AD (Crone-Cook 1977:22,171).

Oleh karena itu, bukti awal yang paling menguatkan yang kita miliki tentang kberadaan kota Mekkah benar-benar baru ada 100 tahun setelah tanggal yang dirujuk oleh Tradisi Islam dan Quran.
Mengapa? Jika Mekkah adalah kota yang begitu penting, tentu saja seseorang, di suatu tempat, akan pernah merujuk atau menyebut-nyebutkanya. Namun kita tidak menemukan apa-apa di luar kesimpulan kecil oleh Ptolemy 500 tahun sebelumnya, dan laporan awal pada abad ketujuh akhir dan kedelapan awal.
Dan itu belum semua, sebab muslim berpendapat bahwa Mekah itu bukan kota kuno dan besar, tetapi juga pusat rute perdagangan untuk Saudi pada abad ketujuh dan sebelumnya (Cook 1983:74; Crone 1987:3-6).
Namun, menurut penelitian yang luas oleh Bulliet tentang sejarah perdagangan di Timur-Tengah kuno, klaim-klaim oleh umat Islam jelas keliru, karena Mekah melulu tidak terletak pada rute perdagangan utama. Alasan untuk ini, ia berpendapat, bahwa, "Mekah ini terletak di tepi semenanjung Hanya oleh. pembaca peta yang paling dipaksakan Mekkah bias digambarkan sebagai persimpangan alami antara rute utara-selatan dan barat-timur salah satu" (Bulliet 1975:105).

Hal ini dikuatkan oleh penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Groom dan Muller, yang berpendapat bahwa Mekah benar-benar tidak mungkin berada di jalur perdagangan, karena akan mensyaratkan jalan memutar dari rute yang seharusnya. Bahkan mereka akan menjauhi rute perdagangan yang harus dilewati beberapa seratus mil jika bersikeras melewati Mekkah (Groom 1981:193; Muller 1978:723).

Patricia Crone, dalam karyanya tentang Meccan Trade and the Rise of Islam menambahkan alasan praktis yang terlalu sering diabaikan oleh para sejarawan sebelumnya. Dia menunjukkan bahwa, Mekkah adalah tempat yang tandus, dan tempat-tempat tandus tidak menyediakan penghentian alami (pent: maksudnya seperti tempat-tempat teduh bagi para pemilk Caravan untuk beristirahat), dan paling tidak ketika bagi mereka untuk menemukan lingkngan hijau pada jarak yang cukup dekat. Mengapa para kafilah harus mengarungi perjalanan curam lembah tandus Mekah ketika mereka bisa berhenti di Thaif ? Mekah tentu saja memiliki baik tempat kudus maupun sumur, namun begitu pula Thaif, yang memiliki persediaan makanan, juga "(Crone 1987:6-7; Crone-. Cook 1977:22).

Selanjutnya, Patricia Crone bertanya, "Komoditas apa yang tersedia di Arabia yang dapat diangkut dengan jarak seperti itu, melalui lingkungan yang tak ramah, dan masih dlaku dijual dengan keuntungan yang cukup besar untuk mendukung pertumbuhan sebuah kota di sebuah daerah yang dikelilingi keterbatasan sumber alam yang begitu menyolok?" (Crone 1987:7) Bukanlah dupa, rempah-rempah atau barang eksotis lainnya seperti yang banyak penulis awal, yang sungguh tak dapat diandalkan keakuratannya tulisannya, telah isyaratkan (lihat diskusi Crone tentang masalah akurasi sejarah, terutama antara Lammens, Watts dan Kister, di Mekah Perdagangan, 1987:3).

Dalam studi nya di Meccan Trade, Dr Crone menunjukkan bahwa dari lima belas rempah-rempah yang dikaitkan ke Mekah: enam jenis tidak ditemukan sebelum abad keenam, dua diimpor lewat laut; dua secara eksklusif dari Afrika Timur, dua lagi kurang bsa dipercaya dan tidak pernah diperdagangkan, satu bermasalah dalam identitas, dan dua lagi tidak dapat diidentifikasi sama sekali (Crone 1987:51-83). Akibatnya, tak satu pun dari lima belas rempah-rempah dapat dikaitkan ke Mekah. Jadi perdagangan apa yang terkenal yang bisa dikaitkan dengan kota Mekkah ? Beberapa Muslim mempertahankan itu perbankan atau mungkin penggembalaan unta, namun bagaimana mungkin dalam lingkungan setandus itu?

Menurut penelitian terbaru dan jauh lebih dapat diandalkan yang dilakukan oleh Kister dan Sprenger, orang Arab terlibat dalam perdagangan dari jenis yang sangat mendasar, yakni kulit dan pakaian; yang hampir tidak mungkin mampu menjadi konglomerasi dalam dimensi internasional (Kister 1965:116; Sprenger 1869:94). (pent. : maksudnya perdagangan dengan basic item seperti itu tidak memungkinkan untuk memunculkan pergerakan dengan tentara yang besar dan professional seperti dalam kisah-kisah peperangan Muhammad. Ini berimplikasi bahwa pergerakan awal islam bukanlah di Mekkah).

Bagaimanapun, masalah nyata dengan Mekah adalah bahwa tidak ada perdagangan internasional yang terjadi di Arabia, apalagi di Mekkah, dalam satu abad sebelum kelahiran Muhammad. Tampaknya banyak data kita miliki tentang daerah ini telah diambil dari luar kawasan sebenarnya, karena penelitian ceroboh dari sumber asli yang dilakukan oleh Lammens, "seorang sarjana tidak bisa diandalkan," dan diulangi oleh orientalis besar seperti Watts, Shaban, Rodinson, Hitti, Lewis dan Shahid (Crone 1987:3,6). Lammens menggunakan sumber-sumber abad pertama (seperti Periplus - 50 AD - dan Pliny - 79 AD) seharusnya menggunakan data enam abad kemudian karangan sejarawan Yunani, Bizantium dan Mesir yang dekat dengan kejadian munculnya Islam (seperti Cosmas, Procopius dan Theodoretus - Crone 1987 :3,19-22, 44). Karena mereka tidak hanya pedagang, wisatawan dan geografi, tetapi sejarawan, mereka tahu area dan periode dan karena itu akan memberikan gambaran yang lebih akurat.

Seandainya Lammens merujuk pada sejarawan-sejarawan tersebut, maka ia akan menemukan bahwa perdagangan Yunani antara India dan Mediterania sepenuhnya lewat jalur maritim setelah abad pertama Masehi (Crone 1987:29). Orang hanya perlu melihat peta untuk mengerti alasannya. Adalah tidak masuk akal untuk mengirimkan barang-barang melintasi jarak tersebut lewat darat ketika jalur air tersedia. Patricia Crone menunjukkan bahwa di masa kaisar Diocletian (berkuasa di Roma 284 – 305 M) lebih murah untuk kapal gandum melewati laut sejauh 1.250 mil daripada mengangkutnya dengan tanah sejauh 50 mil (Crone 1987:7). Jarak dari Najran, Yaman di selatan, ke Gaza di sebelah utara adalah sekitar 1.250 mil. Untuk apa kapal-kapal pedagang dari India melaut sampai ke Aden, Yaman, lalu membongkarnya untuk diletakkan pada punggung unta yang jauh lebih lambat dan lebih mahal demi melintasi padang pasir Arab yang tidak ramah sampai ke Gaza, ketika mereka bisa membawanya terus di kapal dan mengikuti rute Laut Merah sampai pantai barat Arabia?

Dan tetap ada masalah lain juga. Seandainya Lammens meneliti sumber-sumbernya dengan benar, ia juga akan menemukan bahwa perdagangan Yunani-Romawi runtuh menjelang abad ketiga Masehi, sehingga pada saat Muhammad hanya ada rute darat, dan ada pasar Romawi dimana barang-barang akan ditujukan (Crone 1987 : 29). Dia akan juga menemukan bahwa bentuk perdagangan yang tersisa ternyata dikendalikan oleh orang Etiopia dan bukan Arab, dan bahwa kota Adulis di pantai Ethiopia Laut Merah dan bukan Mekah adalah pusat perdagangan di daerah itu (Crone 1987:11, 41-42 ).

Bahkan yang lebih penting lagi, seandainya Lammens meluangkan waktu untuk mempelajari sumber-sumber Yunani awal, ia akan menemukan bahwa orang-orang Yunani, kepada siapa perdagangan ditujukan, bahkan tidak pernah mendengar apapun tentang suatu tempat bernama Mekah (Crone 1987:11,41-42). Jika Mekkah benar-benar begitu penting, menurut tradisi Muslim dan orientalis baru-baru ini, tentu si penerima barang itu akan mencatat keberadaannya. Namun, kita tidak menemukan apa-apa. Crone dalam risetnya menunjukkan bahwa dokumen-dokumen perdagangan Yunani merujuk pada kota Thaif (yang dekat dengan Mekah sekarang), dan ke Yathrib (yang kemudian disebut Madinah), serta Kaybar di utara, namun tidak disebutkan apa-apa tentang Mekah (Crone 1987:11). Bahkan dinasti Sassanid Persia, yang pernah menyerang Arab antara tahun 309 dan 570 Masehi menyebutkan menara kota Yatsrib (Madinah) dan Tihama, tapi tidak Mekkah (Crone 1987:46-50). Hal ini memang sangat mengganggu.
Seandainya para orientalis yang baru-baru ini meluangkan waktu untuk memeriksa sumber-sumber yang Lammens gunakan, mereka juga akan menyadari bahwa sejak jalur darat itu tidak digunakan setelah abad pertama Masehi, tentu saja jalur itu digunakan pada abad kelima atau keenam (Crone 1987:42), dan banyak dari apa yang telah ditulis mengenai Mekah harus diperbaiki sebelumnya.

Akhirnya, masalah lokasi Mekah dalam sumber-sumber sekuler awal tidaklah unik , bahkan ada beberapa kebingungan dalam tradisi Islam di mana tepatnya Mekah pada awalnya terletak (lihat diskusi pada evolusi dari situs Mekah di Crone & Cook Hagarism 1977 : 23.173). Menurut riset yang dilakukan oleh J.van Ess, baik dalam perang sipil pertama dan kedua, ada catatan tentang orang-orang bepergian dari Madinah ke Irak melalui Mekah (van Ess 1971:16, lihat juga Muhammad bin Ahmad al-Dhahabi 1369: 343). Namun Mekah terletak di sebelah tenggara Madinah, dan Irak adalah utara-timur. Jadi tempat kudus bagi Islam, menurut tradisi-tradisi itu berada si sebelah utara Madinah, yang merupakan arah yang berlawanan dari mana Mekah saat ini!

Kita dibiarkan dalam kebingungan. Jika Mekah bukan pusat komersial besar seperti tradisi-tradisi Muslim ingin kita percayai, kalau Mekkah tidak diketahui dan ditulis oleh orang-orang yang hidup pada jaman itu, dan jika tidak bisa memenuhi syarat sebagai sebuah kota pada zaman Muhammad, tentu Mekkah tidak bisa menjadi pusat dunia Islam pada waktu itu. Kalau begitu kota mana yang jadi pusat dunia islam? Jawabannya adalah tidak begitu sulit ditebak, seperti yang telah diisyaratkan sebelumnya. Tampaknya Yerusalem dan bukan Mekah adalah pusat dan tempat suci kaum Haggarin atau Maghrabi (nama awal diberikan kepada orang-orang Arab) sampai sekitar 700 M.

Diskusi-diskusi di awal mengenai Hijrah, kiblat, dan Yahudi menunjukkan bahwa itu adalah ke arah utara, mungkin Palestina bahwa Hijrah diarahkan, bahwa tempat di daerah barat-laut Arab ketika kaum Hagarin berpaling untuk berdoa, dan bahwa itu adalah tujuan dimana mereka bersama orang-orang Yahudi melakukan penaklukan (Crone-Cook 1977:9,160-161,23-24,6-9). Belum lagi kita tambahkan fakta lain yang dapat membantu kita pada keyakinan ini:


D.5. Kubah Emas / Dome of The Rock (Qubbat al Sakhra)

Di tengah-tengah Yerusalem berdirilah bangunan mengesankan yang dikenal sebagai Kubah Emas atau Mesjid Kubah Emas (bahasa Inggris Dome of The Rock) yang dibangun oleh Abd al-Malik pada tahun 691 Masehi. Bagaimanapun kita akan mengenal bahwa Kubah Emas ini bukanlah sebuah mesjid, karena ia tidak memiliki kiblat. Bangunan ini berbentuk octagonal atau bersegi delapan dengan delapan pilar (Nevo 1994:113), dimaksudkan sebagai tempat untuk melakukan waqaf / pradaksina (berjalan mengitari). Dengan demikian, tampaknya bangun ini dimaksudkan sebagai tempat perlindungan (glasse 1991:102). Saat ini dianggap sebagai situs ketiga paling suci ketiga dalam agama Islam setelah Mekkah dan Madinah. Muslim berpendapat bahwa itu dibangun untuk memperingati malam ketika Muhammad pergi ke surga untuk berbicara dengan Musa dan Allah menyoal berapa kali jumlah shalat yang harus dilakukan oleh umat (dikenal sebagai Mi'raj dalam bahasa Arab) (glasse 1991:102).

Namun, menurut riset yang dilakukan pada inskripsi yang terpahat di sana oleh Van Berchem dan Nevo, tanggal penulisan paling awal dari inskiripsi itu tidak mengatakan apa-apa tentang Mi'raj, tetapi hanya berisi kutipan yang menyoal polemik yang bernada pesan quran, meskipun inskripsi itu hanya bertujuan terutama pada orang Kristen.

Umat Islam akan segera menunjukkan Surah 17:01 dan 2:143-145, yang berbicara tentang 'tempat yang tak 
dapat diganggu gugat' dan 'perubahan kiblat', dapat ditemukan pada inskripsi drum kubah dan ambang pintu yang menghadap ke selatan. Mereka akan melakukannya dengan baik untuk membaca sejarah inskripsi tersebut. Namun apa sebenarnya terjadi adalah bahwa baik inskripsi ini tidak asli, tidak pula inskripsi ini berusia tua. Keseluruhan kubah dibangun kembali oleh al Zaher Li-L'zaz pada tahun 1022 M akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1016 Masehi (Duncan 1972:46). Drum itu dibangun kembali pada 1318 M (Creswell 1969:30), tetapi inskrisinya (baik Surah 36 bagian bawah dan Surah 17 bagian atas) tidak ditambahkan sampai 1876 Masehi oleh Abdul Hamid II (Duncan 1972:66). Pintu-pintu yang ada pada saat ini (dimana Surah 2:144 ditemukan) tidak didirikan sampai 1545 AD (Creswell 1969:26). Di bagian selatan dimana ditulis Surah 2:143-145 tidak dibangun sampai 1817 M oleh Sultan Mahmud (Duncan 1972:64). Jadi, sekali kita membaca sejarah kubah, kita menemukan bahwa tak satupun dari dua Surah ini ini ditulis ketika kubah itu dibangun oleh Abdul Malik pada tahun 691 M.

Inskripsi paling awal, sejauh yang kita bisa buktikan, hanya berbicara tentang status mesianis Yesus, penerimaan para nabi, penerimaan wahyu oleh Muhammad wahyu, dan penggunaan istilah "islam"dan"muslim" (Van Berchem 1927: nos.215, 217; Nevo 1994:113). Harus dicatat, bagaimanapun, bahwa bahkan tanggal awalan ini meragukan dikarenakan adanya perbedaan desain pada plar-pilar penyangga berdasarkan catatan seorang Persia Nasir i Khusran di 1047 AD (lihat Duncan 1972: 44-46).
Jika tempat suci ini dibangun ditujukan untuk mengenang peristiwa sejarah penting dalam kehidupan sang nabi (yakni Mi'raj), mengapa tidak ada inskripsi awal terlihat itu? Tidak ditemukan dalam inskripsi itu entah menyebutkan perjalanan malam ke surga, menaiki kuda bersayap, Buraq, juga tidak menyebutkan dialog Muhammad dengan Musa pertama –tama dan kemudian dengan Allah, atau tentang shalat lima waktu sehari, yang konon tujuan utama dari pendirian tempat suci itu !

Bagaimana hal ini bisa dijelaskan? Penjelasan yang mungkin adalah bahwa cerita tentang Mi'raj sama sekali tidak ada saat ini, tetapi dikarang di kemudian hari selama periode Abbasiyah (setelah 750 AD). Hal ini tidak sulit untuk memahami ketika seseorang menyadari bahwa gagasan dari shalat lima waktu dirangkai saat itu juga. Rujukan untuk shalat di Quran hanya ada di Surah 11:114, 17:78-79, 20:130, dan 30:17-18 (meskipun ada keraguan apakah mereka semua berbicara tentang shalat doa, atau apakah mereka berbicara tentang pujian [sabaha]). Apa yang kita temukan dalam rujukan ini adalah shalat wajib tiga kali. Ayat-ayat ini tidak berbicara tentang 5 kali sehari (meskipun banyak komentator muslim berusaha keras untuk menambahkan kedua shalat yang tak ditulis itu entah shalat subuh atau isha, melalui pembacaan yang dipaksakan).

Kisah Isra Mir'aj konon terjadi ketika Muhammad tinggal di Madinah (paling mungkin sekitar 624M). Namun ketika kita merujuk pada Hadis yang dikumpulkan 200 – 250 tahun kemudian, kita mendapati bahwa tidak hanya shalat lima waktu saja yang diperdebatkan, tentang bagaimana shalat dilakukan. Jika Quran adalah firman allah, mengapa tidak diketahui berapa kali muslim harus shalat dalam sehari ? Dan lebih jauh lagi, jika Kubah Emas dibangun untuk memperingati kejadian yang momentum, mengapa quran tidak dibicarakan apa-apa sampai 100 tahun kemudian? Nampaknya jelas bahwa bangunan itu asalnya didirikan bukan untuk tujuan memperingati Isra Mi'raj. Fakta bahwa bangunan mengesankan itu berdiri lebih awal, memberi petunjuk bahwa tempat ini adalah sanctuary dan pusat islam sampai setidaknya abad 7 M dan bukan Mekkah (Van Bercham 1927:217)!

Dari apa yang kita baca sebelumnya tentang tujuan Muhammad untuk memenuhi hak waris yang ia dan kaumnya, Hagarin, miliki untuk kembali ke tanah Perjanjian, atau Palestina, adalah masuk akal jika Abdul Malik mendirikan bangunan ini sebagai titik pusat dari penggenapan tujuan itu. Dan tidak aneh apabila Abdul Malik membangun kubah dimana ia memproklamasikan misi kenabian Muhammad, lalu ia menaruhnya di atas bangunan itu sendiri (Van Berchem 1927:217).

Menurut tradisi Islam, Khalifah Sulaeman, yang berkuasa paling tidak 715-717 AD, pergi ke mekkah untuk bertanya tentang ibadah haji. Ia tidak puas dengan jawaban yang ia terima disana, dan memilih untuk mengikuti Abdul Malik, yakni mengitari Kubah Emas (catatan: jangan tertukar dengan Imam Malik bin Anas yang baru berumur 3 tahun saja pada saat itu, sebab terlahir tahun 712 M). Dari fakta ini saja, menurut Dr. Hawting dari SOAS, menunjukkan bahwa masih terdapat kebingungan sampai awal abad ke delapan tentang bangunan suci yang mana yang harusnya jadi acuan. Kelihatannya baru baru saat ini saja Mekkah mengambil tempat sebagai pusat keagamaan islam. Untuk itu kita mulai mengerti mengapa, berdasarkan tradisi, Walid I, yang berkuasa sebagai kalifah antara tahun 705 – 715 M, menuliskan kepada semua wilayah yang menitahkan perombakan dan pelebaran mesjid (mengacu pada 'Kitab al-'uyun wa'l-hada'iq', yang diedit oleh M. de Goeje dan P. de Jong 1869:4). Mungkinkah pada saat ini kiblat diarahkan ke Mekkah? Jika demikian, ini menunjukkan suatu kontradiksi lagi terhadap Quran yang mensahkan Mekkah sebagai tempat suci, dan kemudian arah kiblat, 80 - 90 tahun setelah Muhammad meninggal. (lihat Surah 2:144-150).
Dan itu bukanlah satu-satunya masalah. Sebab kita masih memilki bukti arkeologis dan manuskrip yang menunjukkan perbedaan dengan apa yang kita baca di dalam Quran.


D.6.  Muhammad

Tulisan-tulisan para penulis sejarah Armenia dari sekitar 660 AD (disebut sebelumnya) memberi kita narasi paling awal dari karir Muhammad yang masih ada sampai saat ini dibanding dalam bahasa apa pun, yang menyatakan bahwa Muhammad adalah seorang pedagang yang berbicara banyak tentang Abraham, sehingga hal ini memberikan kita bukti sejarah awal keberadaan Muhammad (Cook 1983:73). Namun penulis sejarah ini tidak mengatakan apa-apa tentang kenabian universal dari Muhammad, hanya mengisyaratkan bahwa ia seorang nabi lokal.

Bahkan dokumen Islam awal, menurut Dr John Wansbrough, tidak mengatakan apapun tentang kenabian yang diklaim bersifat universal. Catatan Maghazi, yang Wansbrough rujuk yang memuat cerita tentang pertempuran nabi dan kampanye, adalah dokumen-dokumen Islam yang paling awal yang kita miliki (Wansbrough 1978:119). Mereka seharusnya memberi kita gambaran terbaik waktu itu, namun mereka hanya menceritakan sedikit tentang kehidupan Muhammad atau ajarannya. Bahkan, tak satu bagianpun dalam dokumen ini terdapat penghormatan terhadap Muhammad sebagai nabi! Jika, menurut Al Quran, Muhammad dikenal terutama sebagai "segel dari semua nabi" (QS 33:40), maka mengapa dokumen-dokumen ini tidak berkata apa-apa sama sekali tentang hal yang sangat penting ini ?

Analisa Nevo Pada Tulisan Prasasti

Untuk mengenal siapa Muhammad dan apa yang dia lakukan, kita harus kembali ke waktu ketika ia hidup dan melihat bukti yang ada pada saat itu. dan masih ada sampai sekarang, untuk melihat informasi apa yang bisa memberitahu kita tentang tokoh yang sangat penting ini. Wansbrough, yang telah melakukan penelitian yang begitu banyak pada tradisi awal dan Al Quran berpendapat bahwa, karena sumber-sumber Islam semua sangat terlambat, dari 150 tahun untuk dokumen Sira-Maghazi, serta Al Qur'an yang paling awal, mengharuskan kita untuk tidak menganggapnya otoritatif (Wansbrough 1977:160-163; Rippin 1985:154-155). Adalah ketika kita melihat dari sumber-sumber non-muslim maka kita menemukan beberapa peringatan yang agak menarik siapa manusia Muhammad ini.

Sumber non-muslim terbaik berasal dari Saudi abad ketujuh yang kita miliki adalah yang ditunjukan oleh batu prasasti Arab yang tersebar di seluruh gurun Siro-Yordania dan Semenanjung Arab, dan terutama padang pasir Negev (Nevo 1994:109). Adalah Yehuda Nevo dari Universitas Ibrani Yerusalem.yang telah melakukan penelitian terbesar pada batu prasasti tersebut. Dan sumber yang akan saya rujuk ini berasal dari penelitian Yehuda Nevo yang ia tulis dalam bukunya berjudul Towards a Prehestory of Islam, yang diterbitkan pada tahun 1994. Nevo menemukan dalam teks-teks relijius Arab berasal dari 150 tahun pertama berkuasanya bangsa Arab, sebuah keyakinan monoteis. Namun, ia berpendapat bahwa kredo ini "menunjukkan bukan Islam, tetapi [sebuah kredo] yang darinya Islam mungkin berkembang" (Nevo 1994:109).

Nevo juga menemukan bahwa "di semua lembaga keagamaan Arab selama periode Sufyani [661-684 AD] benar-benar tidak pernah ada rujukan kepada nama Muhammad." (Nevo 1994:109). Faktanya tidak nama Muhammad, tidak pula formula yang merujuk pada Muhammad (bahwa ia adalah nabi Allah) tertulis pada setiap prasasti tertanggal sebelum tahun 691 Masehi. Hal ini terbukti, entah tujuan utama dari prasasti bersifat agamawi, seperti misalnya doa, atau apakah itu digunakan sebagai prasasti peringatan, yang mana seharusnya ada kandungan penekanan keagamaan, seperti prasasti di bendungan dekat kota Thaif yang dibangun oleh Muawiyah Khalifah dalam AD 660s (Nevo 1994:109).

Fakta bahwa nama Muhammad tidak pernah hadir pada semua prasasti awal, terutama yang bersifat relijius adalah signifikan. Padahal banyak catatan dari tradisi kemudian (yaitu Sirah dan Hadits, yang merupakan literatur Muslim awal yang kita miliki) dikarang hampir seluruhnya berdasarkan kisah kehidupan nabi. Dia adalah contoh yang harus diikuti semua muslim. Lalu mengapa kita tidak menemukan penekanan yang sama dalam tulisan-tulisan Arab yang jauh lebih awal yang sebenarnya lebih mendekati jaman dimana ia hidup? Bahkan yang lebih merisaukan lagi, mengapa namanya tidak disebut-sebut sama sekali? Namanya hanya baru ditemukan pada prasasti Arab setelah 690 AD (Nevo 1994:109-110).

Dan apa lagi, tanggal kemunculan pertama frase ‘Muhammad rasul Allah’ ditemukan pada koin Arab-Sassanian dari Xalid bin Abdallah dari tahun 690 Masehi, yang melimpah di Damaskus (Nevo 1994:110).
Yang lebih mencolok lagi, penampilan pertama dari apa yang Nevo sebut sebagai “Syahadat Berlapis tiga” (triple Confession of faith), yang meliputi Tauhid (bahwa Allah adalah satu), kalimat Muhammad Rasul Allah (bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, dan sifat kemanusiaan Yesus (rasul Allah wa-abduhu), ditemukan dalam prasasti Abd al-Malik di Kubah Batu di Yerusalem, tertanggal 691 AD (Nevo 1994:110)! Sebelum tulisan ini pengakuan iman Muslim tidak dapat dibuktikan sama sekali. Harus dicatat, bagaimanapun, bahwa tanggal tulisan ini bisa sendiri jauh kemudian, yakni sekitar 1022 AD yang mungkin ditambahkan oleh al Zaher Li-L'zaz ketika ia membangun kembali tembok melingkar (ambulatories) dalam dan luar di mana di sebelah atasnya prasasti itu terletak (Duncan 1972 : 46).

Sebagai aturan, setelah 691 AD dan semua melalui dinasti Marwanid (sampai 750 AD), nama Muhammad biasanya muncul manakala rumus keagamaan digunakan, seperti pada koin, tonggak, dan papirus "protokol" papyrus (Nevo 1994:110).

Mungkin kita bisa berargumen bahwa bisa saja tanggal-tanggal kemunculan nama Muhammad ini terlambat dikarenakan fakta bahwa gagasan-gagasan agama memang memerlukan waktu untuk bisa dijadikan prasasti Arab. Namun, menurut Nevo, papirus bahasa Arab pertama, seorang entaqion Mesir, yang merupakan tanda terima pajak yang dibayar, tertanggal 642 AD dan ditulis dalam Yunani dan Arab yang dimulai dengan kata "Basmala," namun tidak bercorak Kristen tidak pula bercorak Islam (Nevo 1994:110).

Konten religius dalam prasasti-prasasti batu itu tidak menonjol sampai setelah 661 M. Namun, meskipun mereka membawa-bawa teks-teks relijius, mereka tidak pernah menyebutkan nabi atau formula muslim apapun (Nevo 1994:110). "Ini berarti," menurut Nevo, "bahwa pengakuan agama resmi Arab tidak menyertakan Muhammad atau formula muslim lainnya dalam frasa repertoar mereka saat itu selama 60 tahun penuh dan bahkan lebih setelah kematian Muhammad.” (Nevo 1994:110 ). Apa yang prasasti-prasasti itu indikasikan adalah bahwa ia adalah suatu bentuk kepercayaan monoteis, yang dimiliki oleh suatu literatur sekte dengan konsepsi Yahudi-kristen yang dikembangkan dalam dalam gaya sastra tertentu, tapi tidak berisi fitur spesifik setiap agama monoteisme dikenal (Nevo 1994:110,112).

Signifikansi yang lebih besar lagi, prasasti ini menunjukkan bahwa ketika rumus muslim diperkenalkan, selama periode Marwanid (pasca 684 AD), itu dilakukan "hampir semalam" (Nevo 1994:110). Tiba-tiba a menjadi satu-satunya bentuk deklarasi keagamaan resmi negara, dan digunakan secara eksklusif dalam dokumen formal dan prasasti, seperti "protokol" papirus (Nevo 1994:110).

Namun, bahkan setelah teks-teks muslim menjadi resmi, mereka tidak diterima oleh masyarakat begitu cepat. Selama bertahun-tahun setelah penampilan mereka dalam deklarasi negara, orang-orang terus menyertakan legenda non-muslim di prasasti pribadi, serta tulisan-tulisan arsip umum rutin (Nevo 1994:114). Maka dari itu misalnya Nevo telah menemukan juru tulis tertentu yang tidak menggunakan rumus muslim dalam korespondensi Bahasa Arab dan Yunani, meskipun ia melakukannya di papirus "protokol" dengan membawa nama dan gelarnya (Nevo 1994:114).

Kenyataannya, menurut Nevo, formula muslim baru mulai digunakan dalam inskripsi di batu tulis popular di Negev Tengah sekitar 30 tahun (atau satu generasi) setelah diperkenalkan oleh Abd al-Malik, di suatu masa pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam (antara 724 -743). Dan bahkan ini, menurut Nevo, meskipun mereka bercorak muhammadan, namun bukan Muslim. Nevo percaya bahwa teks Islam baru mulai muncul pada awal abad kesembilan (sekitar 822 AD), bertepatan dengan Al Qur’an tertulis pertama, serta catatan Tradisi Islam pertama (Nevo 1994:115).

Akibatnya, tampak dari inskripsi-inskripsi ini bahwa hanya selama dinasti Marwanid (setelah 684 AD), dan tidak selama hidup Muhammad bahwa ia diangkat ke posisi seorang nabi universal, dan bahkan kemudian, rumusan muslim yang diperkenalkan masih tidak setara dengan apa yang kita miliki saat ini.
Untuk diskusi lebih lanjut pada enam klasifikasi atau periode dari inskripsi batu tulis ini, serta isinya, saya akan merekomendasikan artikel Nevo's (halaman 111-112).


D.7.  'Muslim' and 'Islam'

Sekarang kita sampai pada kata "Muslim" dan "Islam." Kepatuhan Muhammad terhadap garis Ibrahim bisa menjelaskan mengapa tidak ada penyebutan nama Muslim dibuat sampai tahun-tahun terakhir abad ketujuh (Cook 1983:74; Crone-Cook 1977:8). Bahkan pemunculan istilah muslim pertama yang bisa dilacak penanggalannya tidak ditemukan sampai tulisan di dinding Kubah Batu yang kita kenal dibangun pada 691 M, 60 tahun setelah kematian Muhammad (Van Berchem 1927:217; Crone-Cook 1977:8).

Sebelum waktu itu kaum Arab disebut sebagai Magaritai, istilah kita temukan di papirus Yunani 642 M (papyrus ini disebut PERF 564 dan 558 PERF: Grohmann 1957:28 f, 157). Dalam Suraht Syria Uskup Isho'yahb III paling dini tahun 640M mereka disebut Mahgre atau Mahgraye (Duval 1904:97).

Munculnya istilah ini tidaklah unik, melainkan ditemukan sejauh Mesir dan Irak, yang sangat mencolok (Crone-Cook 1977:159). Kata Arab yang parallel dengan Magaritai adalah Muhajirun, yang berarti secara silsilah karena mereka adalah keturunan Abraham dan Hagar, dan secara sejarah, karena mereka adalah kaum yang mengambil bagian dalam hijrah, atau eksodus. Pembahasan awal tentang hijrah (menurut sumber-sumber eksternal) menunjukkan bahwa hijrah ini dilakukan kaum Arab ke wilayah Palestina, bukan ke Medinah.

Athanasius pada tahun 684 M menulis dalam bahasa Syria menggunakan istilah Maghrayes untuk merujuk pada kaum Arab. Yakub dari Edessa pada tahun 705 M menyebutkan mereka sebagai Hagarin. Doctrina Iacobi merujuk mereka sebagai kaum Saracen (Bonwetsch 1910:88; Cook 1983:75). Dengan demikian, bertentangan dengan apa yang Al Quran katakana dalam Surah 33:35. Tampaknya bahwa istilah ‘Islam‘ tidak digunakan sampai abad ketujuh akhir (Crone-Cook 1977:8). Jadi dari mana nama ini berasal?

Menurut Crone dan Cook istilah ‘Islam’ (dan istilah lain yang berkaitan dengannya dalam dunia islam) dalam artian "penyerahan diri kepada Allah" dipinjam dari kaum Samaria (Crone-Cook 1977:19-20). Crone dan Cook memaparkan bahwa kata kerja "aslama” memiliki sanak dalam bahasa Ibrani, Aram dan Syria, sedangkan literatur Yahudi ataupun Kristen tak satupun memberikan preseden yang memuaskan untuk penggunaan Islam. Kita menemukan paralel yang tepat untuk Islam di Memar Marqah, teks yang paling penting dari kaum Samaria pada periode pra-Islam (Crone-Cook 1977:19,169; Macdonald 1963:85). Mereka secara konsisten melihat bahwa : reinterpretasi konsep penyerahan diri dapat dilihat sebagai usaha yang disengaja untuk membedakan pengakuan kaum Hagarin dari penganut Yudaisme.
"(Crone-Cook 1977:20).

Meskipun Al Qur'an menggunakan istilah ini (Surah 33:35), jika dibandingkan dengan dokumen-dokumen abad ketujuh yang kita miliki, tampaknya istilah ini tidak diketahui selama kehidupan Muhammad, yang akibatnya menambah keyakinan baha ada lebih banyak kemungkinan evolusi dalam teks-teks Al-Quran.

D.8. Al Qur'an

Jika inskripsi itu berasal dari Al Quran, dengan varian yang mereka kandung, lalu bagaimana bisa Al Qur'an telah dikanonisasi sebelum saat ini (abad ketujuh akhir) ? Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa pasti ada suatu evolusi dalam transmisi Al Qur'an selama bertahun-tahun (jika memang inskripsi itu awalnya diambil dari Al Qur'an).

Sumber-sumber juga tampaknya menunjukkan bahwa Al Qur'an dikumpulkan secara tergesa-gesa (seperti 
yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, di bagian Kritik Internal Quran). Hal ini digarisbawahi oleh Dr. John Wansbrough yang menyatakan bahwa, "kitab ini benar-benar mencolok kekurangan dalam struktur bahasanya secara keseluruhan, sering tidak jelas dan ngawur baik dari segi kebahasaan maupun isi, asal-asalan dalam menghubungkan idea-idea materi yang berbeda, misalnya pengulangan keseluruhan bacaan dalam versi-versi yang berbeda. Atas dasar ini masuk akal bila dikatakan bahwa Quran adalah produk dari editing yang terkemudian dan tidak sempurna bahan dari tradisi kisah yang beragam" (Crone-Cook 1977:18,167).

Crone dan Cook percaya bahwa karena ketidaksempurnaan pengeditan dan kemunculan Al Qur’an pasti karena kejadian yang mendadak (Crone-Cook 1977:18,167). Referensi paling awal dari luar tradisi Islam untuk kitab yang disebut "Qur'an" terjadi pada pertengahan abad kedelapan antara seorang Arab dan seorang pendeta dari Bet Hale (Nau 1915:6 f), tetapi tidak ada yang tahu apakah itu mungkin berbeda jauh dalam isi dari Al-Qur'an yang kita miliki saat ini. Baik Crone dan Cook menyimpulkan bahwa selain referensi kecil ini tidak ada indikasi adanya Al Qur'an sebelum akhir abad ketujuh (Crone-Cook 1977:18).

Crone dan Cook dalam penelitian mereka tetap mempertahankan bahwa hanya pada saat di bawah gubernur Hajjaj dari Irak pada 705 AD kita memiliki konteks historis logis di mana "Qur'an" (atau badan literature nacsent literatur yang nantinya akan menjadi Qur 'an) pertama kali dikompilasi sebagai kitab suci Muhammad (Crone-Cook 1977:18). Dalam sebuah catatan yang ditujukan pada Leo oleh Levond, gubernur Hajjaj dilaporkan telah mengumpulkan semua tulisan lama kaum Hagarin dan menggantikan mereka dengan tulisan lain "sesuai selera sendiri, dan disebarluaskan di mana saja di antara kaumnya" (Jeffrey 1944:298). Kesimpulan alami adalah bahwa selama periode inilah Qur'an memulai evolusinya, mungkin mulai ditulis, sampai akhirnya dikanonisasi pada pertengahan hingga akhir abad kedelapan sebagai Al Qur'an yang kita kenal saat ini.

Semua temuan ini memberi kita alasan tepat untuk mempertanyakan otoritas sebenarnya dari Al Qur'an yang dipercaya sebagai firman Allah. Bukti arkeologis, serta dokumen dan naskah menunjukkan bahwa banyak dari apa yang Qur'an pertahankan tidak berpadanan dengan data yang kita miliki. Dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari sumber eksternal pada abad ketujuh dan kedelapan, kita dapat menyimpulkan:
1.   Hijrah nampaknya paling memungkinkan bukan perjalanan ke Medinah, melainkan ke Palestina.
2.   Bahwa arah kiblat belum ditetapkan menghadap ke Mekkah sampah abad kedelapan, tetapi ke arah jauh ke utara, dan kemungkinan Yerusalem.
3.   Bahwa Kaum Yahudi masih berhubungan baik dengan Kaum Arab paling tidak sampai tahun 640 M.
4.   Bahwa Yerusalemlah, bukan Mekkah, yang paling memungkinkah menjadi tempat suci kaum islam, sebab Mekkah belum dikenal sebagai kota yang hidup sampai akhir abad ketujuh. Bahkan Mekkah tidak termasuk dalam jalur perdagangan.
5.   Bahwa Kubah Batu adalah tempat suci pertama.
6.   Bahwa Muhammad tidak dianggap sebagai nabi Allah secara universal sampai akhir abad ketujuh.
7.   Bahwa istilah Muslim / Islam 'tidak digunakan sampai akhir abad ketujuh;
8.   Bahwa lima waktu sehari serta ibadah haji tidak distandarkan sampai tahun 717 M.
9.   Bahwa kabar tentang Qur'an yang paling awal kita dengar tidak sampai pertengahan abad kedelapan;
10.   Dan bahwa inskripsi Qur'an paling awal tidak sesuai dengan teks Al Qur'an saat ini.

Semua data ini bertentangan dengan Al Qur'an yang kita miliki, dan menambah kecurigaan bahwa Qur'an yang kita baca sekarang TIDAK sama dengan yang seharusnya dikumpulkan dan dikanonisasi pada tahun 650 M di bawah Khalifah Usman, sebagaimana para muslim berpendapat (jika memang pada waktu itu Qur'an telah ada dalam bentuk yang sekarang ini). Kita hanya bisa berasumsi bahwa pasti ada suatu evolusi dalam teks-teks Al-Qur'an. Akibatnya, satu-satunya hal yang kita dapat katakan dengan pasti adalah bahwa hanya dokumen-dokumen yang kita miliki sekarang (dari 790M seterusnya) adalah identik dengan apa yang berada di tangan kita hari ini, ditulis tidak 16 tahun setelah kematian Muhammad, tetapi 160 tahun kemudian, dan dengan demikian bukan 1400 tahun yang lalu, melainkan 1200 tahun lalu. Konsekuensi dari pernyataan ini memang luar biasa.