C. Kritik Internal Dalam Qur'an Sendiri

C. Kritik Internal Dalam Qur'an Sendiri

Sementara Muslim senang dengan pendekatan kritis kepada semua kitab, termasuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ironisnya mereka menuntut posisi yang unik dan tertinggi untuk Al Qur'an, dengan mengklaim kekuasaan tertinggi atas semua kitab lainnya, karena menurut mereka, awalnya Qur'an tidak pernah ditulis oleh manusia dan tidak pula tercemar oleh pikiran dan gaya menulis manusia. Alasan seperti itu karena keyakinan bahwa Qur'an berasal dari "Ibu segala Buku" (diambil dari Surah 43:3-4).

C1: Pujian Atas Qur'an Yang Dikarang-karang
Muslim mengklaim bahwa keunggulan Al Qur'an atas semua wahyu lainnya adalah karena struktur dan gaya sastranya yang canggih. Mereka mengutip dari Surah 10:37-38, 2:23 atau 17:88, yang mengatakan :
Tidaklah mungkin Al Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.
Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah Surat semisalnya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Q 10:37-38)
Gema membanggakan ini berasal dari Hadits (Mishkat III, pg. 664), yang mengatakan : Al Qur'an adalah keajaiban terbesar di antara keajaiban dunia. Buku ini tidak ada duanya di dunia menurut keputusan bulat dari orang-orang terpelajar dalam poin dari gaya penyajiannya, retorika, gaya bahasa, pemikiran dan logika hukum dan peraturan untuk membentuk nasib umat manusia".

C.1.a.  Keunikan Al Qur’an

Muslim menyimpulkan bahwa karena tidak ada karya sastra yang setara dengan Qur'an, ini membuktikan bahwa Al Qur'an adalah mukjizat diturunkan dari Allah, dan bukan karya tulis satu orang pun. Adalah sifatnya yang unik ini, yang dalam Bahasa Arab disebu i'jaz, yang muslim percayai - membuktikan penulisan ilahi, dan dengan demikian menegaskan statusnya sebagai sebuah mukjizat, dan menegaskan peran Muhammad serta kebenaran Islam (Rippin 1990:26).

Namun, Al Qur’an sendiri menyajikan keraguan formulasi awal, dan tentu saja menciptakan kecurigaan tentang keunikannya. Padahal kita tahu bahwa itu tidak sampai akhir abad kesepuluh bahwa gagasan tentang keunikanan ini mengambil ekspresinya secara penuh, terutama dalam menanggapi tulisan-tulisan polemik Kristen waktu itu (Rippin 1990:26).

Kalangan muslim tertentu yang bertanya-tanya apakah pertanyaan keunikan ini sama sekali tepat untuk Al Qur'an. C.G. Pfander, cendekiawan Islam, pada tahun 1835 menunjukkan bahwa, "Ini tidak berarti pendapat universal ulama Arab tak berprasangka bahwa gaya sastra Qur'an lebih unggul dari semua buku lain dalam Bahasa Arab. Beberapa kalangan ragu apakah Qur’an bisa mengungguli Mu'allaqat oleh Quais Imraul, atau Maqamat oleh Hariri baik dalam kefasihan dan puisi, meskipun di negara Muslim hanya sedikit saja orang yang cukup berani untuk menyatakan pendapat seperti itu" (Pfander 1835:264).

Pfander menguraikannya dengan membandingkan Al Qur'an dengan Alkitab. Dia menyatakan, "Ketika kita membaca Perjanjian Lama dalam Bahasa Ibrani asli, banyak sarjana berpendapat bahwa kefasihan Yesaya, Ulangan, dan banyak Mazmur, misalnya, lebih agung daripada setiap bagian dari Qur'an. Hampir tidak ada orang tapi Muslim akan menyangkal hal ini, dan mungkin tidak ada Muslim yang tahu Bahasa Arab dan Ibrani dengan baik akan mampu menyangkalnya"(Pfander 1835:266).


C.1.b.  Kelemahan-kelemahan Struktural

Sebuah perbandingan dengan Alkitab membawa masalah lain yang nyata. Ketika ada yang akrab dengan Al kitab mulai membaca Al Qur'an akan segera jelas bahwa Al Qur'an merupakan jenis sastra yang sama sekali berbeda, apapun keindahan puitisnya.

Manakala Alkitab berisi banyak narasi sejarah, Al-Qur'an mengandung sangat sedikit informasi sejarah. Manakala Alkitab menjelaskan sendiri istilah-istilah yang tidak akrab, atau wilayah tertentu yang ia sebutkan, Al-Qur'an tetap diam. Bahkan, struktur dari Alkitab, bagaikan sebuah kepustakaan dengan 66 buku, ditulis selama periode 1.500 tahun mengungkapkan bahwa memerintahkan menurut kronologi, subyek dan tema.
Al Qur'an, di sisi lain, tampak lebih seperti koleksi campur aduk dengan pernyataan dan idea-idea yang membingungkan, banyak yang tidak jelas hubungannya dari bab ke bab dan ayat ke ayat. Banyak sarjana mengakui bahwa Al Qur'an sangat serampangan dalam pengarangannya, hingga memerlukan tenaga yang luar biasa bagi siapapun untuk menjelaskan apa yang ayat-ayat itu maksudkan.

Seorang sarjana sekuler Jerman Salomon Reinach dalam pernyataannya yang agak keras menyatakan:
"Dari sudut pandang sastra, Qur'an memiliki sedikit sekali kebaikan, deklamasi, penuh dengan pengulangan, bersifat kekanak-kanakan, kurangnya logika dan koherensi nyata sekali bagi para pembaca yang tidak siap pada setiap lompatan ideanya. Hal ini memalukan bagi akal manusia untuk berpikir bahwa ini sastra biasa-biasa saja seperti ini telah menjadi subyek komentar tak terhitung, dan bahwa jutaan orang masih membuang-buang waktu dalam menyerap itu" (Reinach 1932:176).

Dalam nada yang sama, ensiklopedia McClintock dan Strong menyatakan bahwa:
"Masalah dalam Qur’an adalah sangat kacau dan suka memakai kata-kata yang tak jelas, buku yang jelas tanpa urutan pemikiran logis baik secara keseluruhan atau dalam bagian-bagiannya. Ini sesuai dengan cara yang acak-acakan dan insidental di mana pesan itu disampaikan. (McClintock dan Strong 1981:151).


C.1.c. Cacat-cacat Sastra

Bahkan mantan Ulama Muslim Dashti meratapi cacat sastra Al-Qur'an dengan berkata, "Sayangnya Qur'an parah diedit dan isinya diatur secara bodoh". Dia menyimpulkan bahwa, "Semua yang mempelajari Al Qur'an mempertanyakan mengapa para editor Qur’an tidak menggunakan metode alami dan logis dalam menyusunnya berdasarkan tanggal pewahyuan, seperti halnya dalam naskah Ali bin Abu Talib yang dihilangkan" (Dashti 1985:28).

Setelah membaca Surat-Surat dalam Al-Qur'an seseorang akan segera menyadari bahwa semua itu itu tidak kronologis. Menurut tradisi, Surat-Surat yang terpanjang di awal adalah ayat-ayat yang disampaikan terakhir, dan Surat-Surat terpendek yang diletakkan di akhir dianggap diwahyukan paling awal. Namun tradisi-tradisi yang sama memberitahu kita bahwa ada Surat-Surat tertentu yang mengandung ayat-ayat yang diwahyukan baik di awal dan di akhir pelayanan Muhammad. Sehingga sulit untuk mengetahui apakah setiap pernyataan dalam Al Qur'an adalah pewahyuan yang awal atau yang terakhir.

Masalah lain adalah bahwa pengulangan. Al-Qur'an, seperti yang telah diberathukan kepada kita, dimaksudkan untuk dihafalkan oleh mereka yang buta huruf dan tidak berpendidikan. Oleh karena itu dalam Qur'an terdapat prinsip pengulangan yang tidak berujung dari bahan yang sama (Morey 1992:113). Ini semua mengarah kepada kebingungan bagi pembaca pemula, dan tampaknya untuk menunjuk pada sebuah pengingatan gaya pendongeng disebutkan sebelumnya.

Al Qur'an memiliki kesulitan sastra lainnya. "Idea dalam masing-masing bab melompat dari satu topik ke yang berikutnya, dengan duplikasi dan inkonsistensi jelas nyata dalam tata bahasa, hukum dan teologi yang berlimpah" (Rippin 1990:23). Bahasa Qur’an memang semi-puitis, sementara tata bahasanya, karena kelalaian, begitu tigak tegas (elliptical), sering tidak jelas dan ambigu. Ada perselisihan gramatikal (seperti penggunaan verba majemuk, dengan subyek tunggal), dan ketidak-konsistenan dalam perlakuan jenis kelamin kata benda (untuk contoh, lihat Surah 2:177; 3:59; 4:162, 5:69, 7: 160, dan 63:10) (Rippin 1990:28). (pent - dalam banyak bahasa spt Arab, Prancis dsb. Kata benda dibagi kedalam dua kategori : maskulin dan feminin, dengan perlakuan kata benda, kata ganti dan kata kerja yang berbeda pula (hal yang tidak kita miliki dalam Bahasa Indonesia). Banyak kali kalimat dalam Surat yang tanpa kata kerja, dan mengasumsikan pembacanya memahami informasinya dengan baik. Qur’an memiliki penjelasan sedikit dan akibatnya sulit untuk dibaca.

Ini bukan hanya masalah struktural. Patricia Crone menunjuk bahwa, "di dalam kumpulan ayat saja hal-hal sepele yang ditempatkan secara keliru sering kali secara mengejutkan ditemukan. Tuhan bisa muncul sebagai orang pertama dan ketiga dalam satu kalimat yang sama. Mungkin ada kelalaian, yang jika tidak dibetulkan oleh terjemahannya, akan memperlihatkan kebodohan yang nyata" (Cook 1983:68).

Menanggapi tuduhan ini, teolog tata-bahasa al-Rummani (meninggal 996 M) berpendapat bahwa ketidak-jelasan dan penyimpangan gramatikal adalah perangkat retoris benar-benar positif dan bukan bukti menulis terburu-buru atau ceroboh (Rippin 1990:27). Namun argumen semacam ini hampir mustahil untuk dipahami, karena kurangnya literatur sekuler sezaman dengan yang untuk membandingkan. Hal ini meninggalkan "satu-satunya kartu argumen dogmatis” ... tapi kartu yang satu ini yang sering dipakai (seperti banyak argumen keagamaan lainnya) dalam praduga Islam sendiri" (Rippin 1990:27).

Namun demikian, telah banyak cara dilakukan oleh non-muslim untuk menyanggah anggapan di atas dengan mengekspos alasan yang benar untuk penyimpangan ini. Al-Kindi, seorang Kristen yang dipekerjakan di istana khalifah, melakukan diskusi dengan para Muslim sedini 830 M ( yang saya percayai beberapa sesaat setelah kanonisasi Al Qur’an). Dia sepertinya memahami agenda umat Islam waktu itu. Mengantisipasi klaim oleh umat Islam bahwa Al Qur'an itu sendiri adalah bukti inspirasi ilahi dia menanggapi dengan mengatakan:
"Hasil dari semua ini [proses di mana Al Qur'an datang menjadi ada] adalah paten bagi anda yang telah membaca tulisan suci dan melihat bagaimana, dalam buku Anda, sejarah semua campur aduk bersama dan berkelit-kelindan, sebuah bukti bahwa banyak tangan yang berbeda yang memiliki perbedaan nyata telah bekerja di dalamnya, dan menyebabkan ketidak-cocokan, penambahan, pemotongan apapun yang mereka suka atau tidak suka. Apakah seperti itu, sekarang, kondisi sebuah wahyu diturunkan dari syurga ?" (Muir 1882:18-19,28).

Menariknya, pernyataan Al-Kindi sebagai awal abad kesembilan setuju dengan kesimpulan Wansbrough lebih dari sebelas ratus tahun kemudian, keduanya mempertahankan bahwa Qur'an adalah hasil dari kompilasi serampangan oleh redaktur kemudian satu abad atau lebih setelah kejadian (Wansbrough 1977:51).


C.1.d.  Klaim Keuniversalan Qur’an

Kesulitan lain dalam Al Qur'an adalah ruang lingkupnya. Beberapa ayat mengatakan bahwa Qur’an adalah buku hanya untuk orang Arab (Surah 14:04; 42:7; 43:3 dan 46:12), sementara ayat-ayat lain menyiratkan itu adalah wahyu bagi semua orang dan di segala zaman (Surat 34:28 ; 33:40). Apakah aplikasi universal ini datang di kemudian hari, ditambahkan setelah Islam merambah dan merangsek negeri-negeri asing, dan disyiarkan antara orang-orang asing ? Jika demikian, maka hal ini menempatkan keraguan atas keandalannya sebagai sumber awal.


C.1.e.  Interpolasi (Penyisipan)

Dalam Al Qur'an ada juga kasus yang jelas yang berkaitan dengan interpolasi. Sebuah contoh dirujuk oleh Michael Cook dapat ditemukan di Surat 53, di mana "teks dasar terdiri dari seragam ayat pendek dengan gaya yang terinspirasi, namun di dua tempat itu terganggu oleh penekanan prosa yang bertele-tele dan cukup membosankan yang keluar konteks" (Cook 1983:69). Apakah ini datang dari sumber yang sama ? Bahkan apakah mereka sebenarnya termasuk dalam Surat ini ?

Fitur lain yang signifikan adalah kerapnya kita temukan versi alternatif dari bagian yang sama di berbagai bagian Al Qur'an. Cerita yang sama dapat ditemukan diulang dengan variasi kecil dalam Surat yang berbeda. Ketika ditempatkan berdampingan, berbagai versi ini sering menunjukkan jenis yang sama, sehingga kita bisa menemukan versi paralel dari tradisi lisan (Cook 1983:69). Sekali lagi kita diperhadapkan dengan contoh lain dari sebuah buku tidak ditulis oleh seorang penulis tunggal, tetapi sebuah buku disusun kemudian oleh sejumlah individu.

Masalah ini menjadi lebih jelas ketika kita melihat beberapa kutipan dari kitab-kitab lain yang kita temukan dalam Al Qur'an.


C.2.  Kisah-kisah Qur'an Yang Bersumber Dari Talmud

Mungkin kebingungan terbesar bagi orang Kristen yang membaca Al Qur'an adalah banyaknya cerita Al kitab yang nampaknya sama dengan kisah dalam Al kitab namun hanya memiliki sedikit kesamaannya. Kisah-kisah Al Qur'an mencakup banyak distorsi, perubahan, dan beberapa tambahan cerita-cerita aneh dari kisah-kisah yang akrab ketahui dan pelajari dari Al kitab. Jadi, dari mana cerita-cerita ini datang, jika bukan dari kitab-kitab sebelumnya?

Untungnya, kita memiliki banyak literatur apokrifa Yahudi (kebanyakan dari Talmud), berasal dari abad kedua masehi yang dapat kita bandingkan dengan kisah-kisah dalam Qur’an. Seketika melakukannya, kita akan temui begitu banyak persamaan luar biasa antara dongeng atau cerita rakyat, dan kisah-kisah yang diceritakan dalam Al-Qur'an (catatan: materi Talmud diambil dari Feinburg 1993:1162-1163).
Kisah-kisah Talmud dikumpulkan pada abad kedua masehi dari hukum lisan (Mishnah) dan tradisi hukum-hukum (Gemara). Hukum-hukum dan tradisi ini diciptakan sebagai upaya adaptasi hukum Musa (Taurat) dengan zaman yang senantiasa berubah. Talmud juga memasukan interpretasi dan diskusi tentang hukum-hukum (misalnya Halakhah dan Haggadah dll). Banyak orang Yahudi tidak menganggap tulisan-tulisan Talmud otoritatif, namun mereka tetap membacanya sebagai alat Bantu pengetahuan pada jaman kisah-kisah itu ditulis.

Jadi bagaimana tulisan-tulisan Talmud Yahudi non-authoritatif ini bisa sampai dimasukkan dalam Al Qur'an? Antara abad ketujuh dan kesembilan komunitas Yahudi banyak ditemukan di Semenanjung Arab (dikenal sebagai Hijaz). Mereka adalah bagian dari diaspora Palestina yang melarikan diri setelah penghancuran Yerusalem pada tahun 70 M. Sejumlah besar orang Yahudi ini dipandu oleh tulisan-tulisan Talmud yang telah diturunkan secara lisan dari ayah ke anak selama beberapa generasi. Setiap generasi menghiasi kisah-kisah tersebut, atau pada zaman tertentu mereka memasukan cerita rakyat setempat ke dalam kisah-kisah itu, sehingga sulit untuk mengetahui apa sebenarnya isi cerita asli tersebut sebelumnya. Bahkan ada orang di antara orang Yahudi yang percaya bahwa tulisan-tulisan Talmud telah ditambahkan ke "dua prasasti batu“ (yaitu loh batu yang berisi Sepuluh Perintah YHWY, dan Taurat yang disimpan dalam Tabut Perjanjian), dan diyakini replika dari syurgawi buku (Feinburg 1993:1163).

Beberapa sarjana percaya bahwa ketika para Pengumpul teks Qur'an di kemudian hari muncul di abad kedelapan dan kesembilan, mereka hanya menambahkan literatur ini ke dalam bahan-bahan Al Qur’an yang baru lahir. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa sejumlah tradisi-tradisi dari Yudaisme secara tidak sengaja diterima oleh redaktur dan dimasukkan ke dalam tulisan-tulisan ‘suci' Islam. Ada beberapa cerita yang memiliki akar dalam literatur apokrif Yahudi abad kedua. Kita akan melihat hanya tiga di sini, dan kemudian menyebutkan yang lain di akhir bagian ini :

C.2.a.  Kisah Kain dan Habel / Qabil dan Habil

Kisah Kain dan Habel atau Qabil dan Habil ditemukan dalam Surah 5:30-32, yang awalnya sama seperti kisah dalam Al kitab di mana Kain membunuh Habil, sekalipun tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Qur'an.

Namun dalam ayat 31, setelah Kain (Qabil) membunuh Habel (Habil), ceritanya berubah, dan dan tidak lagi mengikuti penjelasan Bibel. Dari mana datangnya kisah Quran ini berasal ? Apakah ini sebuah catatan sejarah yang tidak diketahui oleh penulis Alkitab? Memang ada, sebab sumber untuk kisah terlacak sampai setelah Perjanjian Lama telah dikanonisasi, dan setelah Perjanjian Baru ditulis. Bahkan ada tiga sumber dari mana kisah ini bisa diambil : Targum Jonathan ben-Uzia-, The Targum Yerusalem, dan sebuah buku berjudul The Pirke-Rabi Eleazar (Shorrosh 1988:144). Ketiga dokumen tulisan-tulisan Yahudi berasal dari Talmud, yang berasal dari tradisi lisan antara 150-200 Masehi. Kisah-kisah ini ditulis sebagai komentar kitab-kitab Torah, namun yang diketahui mengandung tidak lebih dari mitos dan dongeng Ibrani.

Ketika kita membaca kisah ini dari Al Qur'an , kita menemukan paralel yang mencolok dengan tiga sumber Talmud :
Qur'an- Surah 5:31
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya 410. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (QS. 5:31)

Targum Jonathan-ben-Uzziah
"Adam dan Hawa, duduk mayat, menangis tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena mereka belum memiliki pengetahuan tentang penguburan. Lalu seekor gagak muncul, mengambil mayat temannya, dan setelah menggaruk tanah, kemudian menguburkannya di depan mata mereka. Adam berkata, 'Mari kita ikuti contoh burung gagak', sehingga ia mengambil tubuh Habel, dan dikuburkanlah segera".

Terlepas dari kontras siapa yang menguburkan siapa, dua cerita di atas luar biasa mirip. Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa di sinilah Muhammad, atau sebuah para kompiler kemudian, memperoleh ceritanya. Jadi kita menemukan bahwa fable dan mitos Yahudi diulang sebagai fakta sejarah dalam Al Qur’an.
Namun ini belum semuanya, karena ketika kita melanjutkan membaca kita Surah 5, dalam ayat berikut ini 32, kita menemukan bukti lebih lanjut dari plagiatisme Qur’an atas literatur Yahudi apokrif, kali ini Mishnah Sanhedrin Yahudi 4:05

Qur'an- Surah 5:32
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan menusia semuanya. (QS. 5:32)

Mishnah Sanhedrin 4:5
"Kami menemukan hal ini dalam kasus Kain yang membunuh saudaranya, suara tangis darah adikmu itu terdengar '[yang terakhir ini adalah kutipan dari Alkitab, Kejadian 4:10], Namun sebenarnya tertulis bukanlah darah (kata benda tunggal), melainkan darah-darah (kata benda jamak).
"Engkau diciptakan tunggal untuk menunjukkan bahwa dia yang membunuh seorang manusia, harus diperhitungkan bahwa dia telah dibunuh di seluruh umat manusia. Tetapi ia yang telah memelihara kehidupan seorang manusia, akan diperhitungkan telah memelihara seluruh umat manusia.

Bisakah kita lihat ketiadaan hubungan jelas antara ayat 31 dengan ayat 32 ? Apakah hubungan antara pembunuhan Habel oleh Kain dengan pembunuhan seluruh umat manusia ?
Jika kita beralih ke Talmud Yahudi lagi, kali ini ke Sanhendrin Mishnah, bab 4, ayat 5, kita akan menemukan di mana penulis mendapatkan materi untuk Qur’an, dan mengapa ia memasukkannya.

Dalam kisah ini kita membaca komentar seorang Rabbi, di mana ia menafsirkan kata 'darah' berarti, "darahnya sendiri dan darah keturunannya". Ingat, ini hanyalah komentar seorang Rabbi. Ini adalah interpretasinya sendiri, dan yang sangat spekulatif.

Oleh karena itu, agak menarik bahwa ia kemudian melanjutkan dengan mengomentari kata jamak untuk darah". Namun komentar Rabbi ini diulang hampir kata demi kata dalam Qur'an, dalam QS 5: 32! Bagaimana mungkin komentar seorang Rabbi pada teks Alkitab, hasil perenungan manusia biasa, menjadi ayat Al-Qur'an dan dikait-kaitkan sebagai kata-kata Allah? Satu-satunya kesimpulan adalah bahwa para kompiler kemudian mengetahui nasihat ini dari tulisan Rabbi ini, karena tidak ada hubungan antara cerita tentang pembunuhan Habil oleh Kain dalam Qur'an (QS 5:31), dan ayat berikutnya tentang seluruh ras (QS 5:32).

Hanya ketika kita membaca Mishnah Sanhedrin 4:05 kita dapat menemukan hubungan antara dua cerita itu: eksposisi dari seorang Rabbi dari sebuah ayat Al kitab dan penjelasan kata intinya. Alasan mengapa koneksi ini kurang dalam Al Qur'an sekarang cukup mudah dimengerti. Penulis Surat 5 tidak tahu konteks di mana Rabi berbicara, dan karenanya tidak sadar bahwa ini hanyalah komentar pada teks Alkitab dan bukan dari Alkitab itu sendiri. Dia hanya menambahkan mereka ke Al Qur'an, mengulangi apa yang dia dengar tanpa memahami implikasinya.


C.2.b.  Kisah Ibrahim / Abraham

Dalam Surah 21:51-71, kita menemukan kisah Ibrahim atau Abraham. Dalam penjelasan Al Quran Ibrahim menantang kaumnya dan ayahnya karena berhala-berhala yang mereka sembah. Setelah Abraham dan kaumnya ini berdebat, mereka berangkat dan Abraham menghancurkan patung-patung kecil tapi menyisakan patung yang paling besar masih utuh. Ketika orang-orang melihat ini mereka memanggil Abraham dan menanyakan apakah ia bertanggung jawab akan hal itu. Abraham menjawab pastilah itu patung-patung yang lebih besar menghancurkan patung-patung yang lebih kecil.

Dia menantang mereka untuk bertanya sendiri kepada patung-patung yang besar itu untuk mencari jawabnya. Mereka menjawab, "Engkau tahu benar bahwa ini patung-patung tidak berbicara!" (QS 65). Dia memberikan jawaban mengejek, dan mereka kemudian melemparkan dia ke dalam api. Tapi dalam ayat 69 atas perintah Allah, api menjadi dingin, sehingga Abraham aman, dan dia secara ajaib berjalan keluar tanpa cedera.

Tidak ada paralel kisah ini dalam Al kitab. Namun ada kisah serupa dalam sebuah buku abad kedua, yakni cerita rakyat Yahudi yang disebut Midrash Rabbah. Dalam kitab itu dikisahkan tentang Abraham yang menghancurkan semua patung kecuali patung yang terbesar. Ayahnya dan yang lain menantangnya, dan dengan jenaka Abraham menjawab bahwa ia telah memberikan sebuah lembu besar untuk dimakan bersama-sama oleh semua berhala. Namun berhala yang kecil, tanpa rasa hormat pada berhala yang besar, langsung memakan habis lembu itu. Hal ini membuat berhala yang lebih besar marah dan menghancurkan berhala yang kecil. (bagian jenaka ini dihapus dari pencatatan di Qur’an). Ayahnya yang sedang marah itu tidak mempercayai kisah Abraham, kemudian ia membawa seorang pria yang bernama Nimrod, dan kemudian ia melemparkan Abraham ke dalam api. Namun Allah membuat api itu dingin dan selamatlah Abraham.

Kesamaan antara kedua cerita ini jelas sekali. Sebuah dongeng Yahudi abad kedua, cerita rakyat, dan mitos diulang dalam “kitab suci“ Al Qur'an. Jelas sekali bahwa kompiler kisah ini pernah mendengar potongan-potongan kisah Alkitab dari komunitas Yahudi dan dengan asumsi mereka datang dari sumber, yang sama tanpa disadari menulis cerita rakyat Yahudi ke dalam Al Qur'an.

Beberapa Muslim mengklaim bahwa mitos ini, dan bukan kisah dalam Al kitab, dalam kenyataannya merupakan Firman Allah yang benar. Mereka mempertahankan bahwa Yahudi menghapuskan kisah-kisah tersebut sehingga tidak sesuai dengan kisah dalam Al Quran, tanpa mencoba untuk menjelaskan bagaimana orang-orang Yahudi bisa mencoreng kisah-kisah ini, sebab Al Qur'an itu sendiri tidak muncul sampai berabad-abad kemudian. Namun demikian tetap saja kita harus bertanya dari mana cerita rakyat ini berasal?

Alkitab sendiri memberikan kita jawabannya. Dalam Kejadian 15:07, Tuhan memberitahu Abraham bahwa Ia yang membawa Abraham keluar dari Ur-Kasdim. Ur adalah tempat, juga disebutkan dalam Kejadian 11:31. Kami memiliki bukti bahwa seorang penulis Yahudi bernama Jonathan Ben Uziel mengira kata Ibrani "Ur" untuk kata Ibrani yang berarti "api". Jadi dalam komentarnya tentang ayat ini ia menulis, "Akulah TUHAN yang membawa engkau keluar dari api Kasdim".

Akibatnya, karena kesalahpahaman ini, dan karena salah membaca ayat Alkitab, sebuah cerita rakyat menjadi populer di zaman itu (abad ke-2 M), yang menyatakan bahwa Tuhan telah membawa Abraham keluar dari api.

Dengan informasi ini, kita bisa membedakan dari mana dongeng Yahudi berasal : dari kesalahpahaman membaca sebuah ayat Al kitab oleh seorang penutur kisah yang keliru. Namun, entah bagaimana pemahaman sesat bisa sampai dijadikan ayat dalam Al Qur'an.

Dari contoh-contoh di atas, hal ini jelas bahwa penyusun Al Qur'an hanya mengulangi apa yang dia dengar, dan tidak mampu membedakan antara yang ia dengar dengan kisah sebenarnya dalam Al kitab. Ia hanya memperkenalkan mereka bersamaan dalam Al Qur'an


C.2.c. Kisah Sulaeman dan Sheba

Dalam Surah 27:17-44 kita membaca kisah tentang Sulaeman atau Salomo, burung hud-hud dan Ratu Sheba. Setelah membaca kisah Al Qur'an tentang Salomo dalam Surat 27, akan membantu untuk membandingkannya dengan cerita yang diambil dari cerita rakyat Yahudi, Targum II Ester, yang ditulis dalam abad ke-2 M, hampir lima ratus tahun sebelum penciptaan Al Qur'an (Tisdall 1904:80-88; Shorrosh 1988:146-150) :

Qur'an- Surah 27:17-44
(ayat 17) Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan).
(ayat 20) Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir.
(ayat 21) Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang".
(ayat 22) Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.
(ayat 23) Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.
(ayat 27) Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk yang berdusta.
(ayat 28) Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan".
(ayat 29) Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia.
(ayat 30) Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya : "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(ayat 31) Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri".
(ayat 32) Berkata dia (Balqis) : "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)".
(ayat 33) Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".
(ayat 35) Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu".
(ayat 42) Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah singgasanamu?" Dia menjawab: "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri".

Targum 2 Esther
Salomo memberikan perintah ........................Aku akan mengirim raja dan bala tentara melawan engkau .......................yang terdiri dari jenis binatang-binatang darat dan burung-burung di udara. Kemudian sesudah itu, seekor ayam jantan merah (seekor burung) pergi dengan sesuka hatinya dan entah kemana. Raja Salomo memberi perintah untuk menangkapnya, membawanya dengan paksa dan dia memang bermaksud membunuhnya.
Tetapi kemudian ayam jantan itu muncul di hadapan raja dan berkata : "Aku telah melihat-lihat seluruh bumi dan menyaksikan sebuah kota dan kerajaan (Sheba) yang belum tunduk kepadamu, tuanku raja. Mereka diperintah oleh seorang ratu bernama Sheba. Kemudian aku menemukan kota yang dibentengi di Tanah Timur dan sekelilingnya dihiasi batu-batu emas dan perak, yang mengalasi jalan-jalan."
Secara kebetulan, ratu Sheba keluar pagi-pagi untuk menyembah laut. Juru tulis Salomo mempersiapkan sepucuk surat, dimasukkannya di bawah sayap seekor burung yang membawanya terbang dan tiba di benteng Sheba. Melihat surat di bawah sayapnya, Sheba membuka dan membacanya: "Raja Salomo mengirim salam. Bila berkenan, datanglah engkau untuk menanyakan kesehatanku, dan aku akan menempatkan engkau tinggi di atas segala-galanya. Jika tidak berkenan, aku akan mengirim raja-raja dan bala tentara melawan engkau".
Membaca demikian, ratu Sheba merobek pakaiannya serta memanggil kaum bangsawan untuk meminta nasehat. Mereka belum pernah mengenal Salomo, tetapi menasehatkan dia untuk mengirim kapal-kapal melalui laut, penuh dengan perhiasan-perhiasan dan batu-batu yang indah............dan juga sepucuk surat kepadanya.
Sheba akhirnya datang. Salomo mengirim utusan untuk menjemput dia, dan ketika ia tiba, Salomo bangkit dan duduk di dalam istana gelas. Ketika ratu Sheba melihat itu, dia berfikir lantai gelas itu ialah air, dan ketika menyebranginya, dia mengangkat pakaiannya. Salomo melihat bulu kakinya dan (dia) berseru kepadanya.....

Sekali anda telah membaca dua kisah di atas, maka jelas dari mana pengumpul kisah Sulaeman dan Ratu Sheba dalam Al Qur'an memperoleh datanya. Dalam isi dan gaya kisah Al Qur'an hampir identik dengan kisah yang diambil dari Targum Yahud yang ditulis di abad 2 M tadi, hampir lima ratus tahun sebelum penciptaan Qur'an. Kedua cerita luar biasa mirip, jin, burung, dan khususnya burung pembawa pesan, yang awalnya Sulaeman tidak bisa temukan, tetapi kemudian digunakan sebagai penghubung antara dirinya dan Ratu Sheba, bersama dengan surat dan lantai kaca, itulah keunikan yang sama dalam dua kisah di atas. Kita sama sekali tidak akan temukan paralelisme kisah ini dalam Alkitab. Sekali lagi kita harus bertanya bagaimana sebuah cerita rakyat Yahudi dari abad kedua Masehi masuk menjadi bagian dari Al Qur'an?
Ada contoh-contoh lain di mana kita bisa temukan baik literatur Yahudi maupun literature apokrif Kristen apokrif dalam teks-teks Al Qur'an. Kisah Gunung Sinai yang diangkat sampai ke atas kepala orang Yahudi sebagai ancaman untuk menolak hukum (Surah 7:171) berasal dari Sarah Abodah, kitab apokrif Yahudi abad kedua. Kisah-kisah aneh mengenai masa kanak-kanak Yesus dalam Al Qur’an dapat ditelusuri dari sejumlah tulisan apokrif Kristen : pohon kurma yang menyediakan untuk penderitaan Maria setelah kelahiran Yesus (Surah 19:22-26) berasal dari Kitab-Kitab Terhilang, sedangkan kisah Yesus yang menciptakan seekor burung dari tanah liat (Surah 03:49) berasal dari Injil Thomas Tentang Masa Kanak-kanak Yesus. Kisah tentang bayi Yesus berbicara (Surah 19:29-33) dapat ditelusuri ke fabel aprokif Arab dari Mesir bernama Injil pertama Tentang Bayi Yesus Kristus.

Dalam Qur'an Surat 17:01 kita memiliki kisah perjalanan Muhammad pada malam hari dari masjidil haram (Mekkah) ke mesjidil aqsha (Yerusalem). Dari tradisi terkemudian kita tahu bahwa ayat ini merujuk kepada Muhammad naik ke langit ketujuh, setelah perjalanan malam ajaib (Mi'raj) dari Mekah ke Yerusalem, dengan menunggang "kuda" yang disebut Buraq. Detil kisah ini lebih jauh ditulis dalam kitab Mishkat Al Masabih. Kita bisa melacak kisah ini ke buku fiksi yang disebut Perjanjian Abraham, ditulis sekitar 200 SM di Mesir, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani dan Arab.

Kemudian kita juga bisa melacak kisah itu di kitab Rahasia Henokh (pasal 1:4-10 dan 2:1), yang ditulis 400 tahun sebelum penulisan Al Qur'an. Namun kisah serupa sebagian besar mengambil model dari kisah yang terkandung dalam kitab Persia kuno berjudul Arta-i Viraf Namak yang menceritakan bagaimana Zoroaster Muda yang saleh naik ke langit, dan kembali, kemudian menuliskan apa yang ia lihat selama perjalanannya itu (Pfander 1835:295-296).

Uraian Al Qur'an tentang neraka menyerupai deskripsi neraka dalam Homilies Efraim, seorang pengkhotbah Nestorian abad keenam (Glubb 1971:36). Penulis Al Qur'an dalam Surah 42:17 dan 101:6-9 mungkin memanfaatkan Kitab Perjanjian Abraham untuk mengajarkan bahwa ada timbangan yang akan digunakan pada hari penghakiman untuk menimbang perbuatan baik dan buruk dalam rangka menentukan apakah seseorang masuk ke syurga atau ke neraka. Gambaran syurga di Surat 55:56-58 dan 56:22-24,35-37, yang berbicara tentang orang yang shaleh akan diberi upah bidadari bermata bulat seperti mutiara, memiliki kesejajaran yang menarik dalam agama Zoroaster Persia, di mana nama untuk gadis tidak ‘houris atau bidadari’, tapi Paaris.

Penting untuk diingat bahwa kisah-kisah dalam Talmud tidak dianggap oleh orang Yahudi Ortodoks jaman itu sebagai kitab yang otentik untuk satu alasan yang sangat baik: kitab-kitab belum ada pada Konsili Jamnia pada tahun 80 SM ketika Perjanjian Lama dikanonisasi. Begitu pula bahan apokrif Kristen tidak dimasukan kedalam kanon karena mereka tidak terbukti otoritatif baik sebelum dan sesudah Konsili Nicea tahun 325 M. Jadi kitab-kitab itu selalu dipahami sebagai sesat oleh orang-orang Yahudi dan Kristen Ortodoks dan terpelajar. Untuk alasan ini kita merasa sangat mencurigai bagaimana kisah-kisah apokrif itu kemudian dimasukkan menjadi sebuah kitab yang diaku-aku sebagai wahyu terakhir dari Allah yang disembah Abraham, Ishak dan Yakub.


C.3.  Keganjilan-keganjilan Sains Dalam Qur’an

Sekarang kita beralih ke bahasan terakhir dari kesulitan-kesulitan yang kita amati ketika membaca Al Qur'an, yaitu keganjilan sains. Dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern kita sekarang dapat mengamati apa yang terlihat seperti kelemahan ilmiah yang masih kasar dalam teks-teks Al Qur'an.

Beberapa kontradiksi ini dapat ditemukan pada kisah Al kitab, seperti:
(a) kisah Musa diadopsi 'oleh istri Firaun dalam Al Qur'an (Surah 28:9), sedangkan Alkitab menyatakan itu adalah putri Firaun (Keluaran 2 : 10); atau
(b) klaim bahwa nama Yahya unik untuk abad pertama Yohanes Pembaptis di Surah 19:07, sedangkan nama ini disebutkan lebih awal dalam 2 Raja-raja 25:23; atau
(c) Dimasukannya Maria ke dalam trinitas Kristen dalam Surah 5:116, yang bertentangan bukan hanya dengan penjelasan Bibel, tetapi kepercayaan yang dipegang oleh hampir seluruh penduduk Kristen selama 2.000 tahun terakhir.

Menariknya, sebuah sekte yang secara signifikan dianggap sesat oleh kaum ortodoks dan disebut Kaum Cholloridian memegang pandangan demikian. Mereka tinggal di Timur Tengah pada saat kompilasi Al Qur’an berlangsung. Mungkinkah ini menjadi sumber untuk kesalah-pandangan Al Qur’an tentang Maria?
Ada kontradiksi internal juga, seperti kebingungan tentang Maria yang tercatat sebagai saudara perempuan Harun dan putri Imran (Amran – dalam Alkitab) serta ibu Yesus (Surah 18:28 , 66:12, dan 20:25-30) meskipun dua Maria tinggal 1.570 tahun terpisah!

Bagian lain yang terkenal sulit adalah menyangkut nama Haman. Dalam Al Qur'an Haman disebut sebagai seorang hamba Firaun, yang membangun sebuah menara tinggi untuk mendaki kepada Allah Musa (Surah 28:38; 29:38; 40:25,38). Namun menara Babel terjadi 750 tahun sebelumnya (Kejadian 11), dan nama Haman benar ditemukan dalam kisah Ester di Babel, 1.100 tahun setelah Firaun. Yusuf Ali percaya bahwa referensi di sini hanya untuk Haman lain, namun nama ‘Haman’ bukanlah unik Mesir, melainkan nama bagi orang Babilonia (Pfander 1835:283-284).

Contoh-contoh ini sebenarnya tidak membawa ke pertanyaan temuan-temuan ilmiah, namun mereka menunjukkan sebuah kecerobohan. Ini mengisyaratkan suatu keterpencilan, di mana cerita ini ditransmisikan secara lisan kepada lingkungan yang jauh dari tradisi itu berasal, sehingga kesalahan-kesalahan detil tampak karena tiadanya kisah pembanding lain yang lebih otoritatif.

Kesulitan lebih serius diperlihatkan oleh ayat-ayat yang bertentangan dengan data-data historis yang terobservasi oleh metoda keilmiahan sekuler. Ada cukup banyak ditemukan dalam Al Qur'an, tetapi untuk singkatnya saya akan merujuk pada hanya beberapa.

Menurut Al-Qur'an (Surah 20:85-87, 95-97) adalah seorang Samaria yang membentuk patung Anak Lembu di gunung Horeb, meskipun istilah Samaria tidak diciptakan sampai beberapa ratus tahun kemudian, pada tahun 722 SM (Pfander 1835:284). ( pent - di Alquran tertulis Samiri – sebenarnya ini adalah pelafalan Arab dari kata Samaria. Kata Samari menunjuk pada kebencian kaum Yahudi kepada Kaum Samaria yang mencampurkan ritual Yudaisme dengan ritual pemujaan berhala. Dan kebencian itu disamarkan dalam kisah Musa. Seakan-akan dari dahulu ritual orang Samaria itu memang sudah jadi bibit kekufuran dalam agama Yahudi. Namun tentu saja itu hanya suatu kekeliruan. Sebab tidak pernah ada catatan tentang Samari atau Samaria dalam kisah Perjanjian Lama. Jadi sekali lagi ini membuktikan bagaimana Al Qur’an mengambil sumber-sumbernya dari kisah-kisah fabel Yahudi dan Kristen yang sama sekali tidak masuk hitungan dalam kanonisasi kitab karena otentisitasnya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan).

Isa nama keliru yang diterapkan kepada Yesus. Nama Arab yang benar untuk Yesus harusnya ‘Yesuwa’.
Hal menarik lain adalah pernyataan yang agak aneh dalam Surat 16:15; 21:31 31:10, 78:6-7, 88:19 mengklaim bahwa gunung-gunung yang digunakan sebagai pasak tenda untuk menjaga bumi dari guncangan. Kita sekarang tahu dari studi geologi bahwa gunung adalah hasil dari entah aktivitas gunung berapi atau aktivitas tektonik – atau tabrakan dua lempeng bumi (Campbell 1989:170-173). Ironisnya, kedua alasan membuktikan bahwa keberadaan gunung adalah bukti ketidakstabilan dalam kerak bumi dan bukan sebaliknya.

Dalam Surah 7:124, Firaun menegur para ahli-ahli sihirnya dengan mengancam akan menyalibkan mereka di kayu salib. Dalam Surah 12:41, tukang roti dalam kisah Yusuf diberitahu bahwa dia akan disalibkan.
Namun sejarah membuktikan bahwa hukuman penyaliban tidak muncul pada jaman itu (jangan dibingungkan dengan Ankh Mesir yang merupakan objek untuk kesuburan dan kehidupan, dan bukan instrumen kematian). Penyaliban pertama kali dipraktekkan oleh Fenisia dan penduduk Carthaginians dan kemudian dipinjam secara luas oleh Roma sekitar jaman Yesus, tahun 1700 setelah Firaun!

Masih ada inkonsistensi ilmiah lain dalam Qur’an yang bisa diamati, seperti anggapan di Surat 41:9-11 bahwa langit diciptakan dari asap (kata Arab yang digunakan adalah Dukhan). Bandingankan dengan penggambaran Alkitab tentang penciptaan langit dari air (Kejadian 1:1 - 2). Neuman dan Eckelmann, dua fisikawan terkemuka mempertahankan bahwa asap, yang terdiri dari partikel-partikel organik tidak bisa eksis dalam keadaan primordial, sementara air (kata Ibrani yang digunakan adalah mayim) kemungkinan besar hadir sebagaimana penelitian baru tentang evolusi nebula menunjukkan kepada kita kebutuhan akan hadirnya hidrogen dan oksigen (atau H2O) dalam keadaan primordial (Neuman / Eckelmann 1977:71-72 dan Campbell 1989:22-25). Ironisnya adalah Alkitab, dan bukan Al Qur'an, yang lebih dekat dengan temuan ilmiah modern. (pent - saya sendiri lebih senang temuan ilmiah dari pada kisah-kisah mitos baik itu dari Al Qur'an ataupun Bibel).

Meteor, dan bahkan bintang-bintang, menurut Qur'an dikatakan sebagai rudal yang ditembakkan pada syetan dan jin yang berusaha untuk mendengarkan pembacaan Al Qur’an di syurga dan kemudian mereka sampaikan pada manusia (Surah 15 :16-18; 37:6-10; 55:33-35; 67:5; 72:6-9 & 86:2-3). Bagaimana kita memahami Surat ini ? Apakah kita percaya bahwa Allah melemparkan meteor, materi yang terdiri dari karbon dioksida atau besi-nikel, pada syetan, yang non material, yang curi-curi dengar di dewan syurgawi ?
Dan bagaimana kita menjelaskan fakta bahwa banyak meteor dalam badai meteor dengan jalur yang paralel? Apakah kita berasumsi bahwa si syetan-syetan ini diberdirikan berbaris di tengah-tengah jalur parallel itu agar tertabrak sebagai hukuman dari Allah (Campbell 1989:175-177)?

Yang menjadi tema favorit lainnya bagi Muslim modern untuk pikirkan adalah tahapan dalam pembentukan janin (lihat Surah 2:259; 22:5, 23:12-14, 40:67, 75:37-39, dan 96:1-2). Menurut Surat ini janin melewati empat tahap, dimulai dengan sperma yang menjadi Alaqa. Meskipun tidak ada yang sepertinya tahu apa arti kata ini sebenarnya, banyak orang menduga bahwa itu adalah sesuatu yang menempel pada sesuatu, atau menggumpal, atau suatu gumpalan darah, sebuah benjolan embrio, dan bahkan segumpal daging dll ‘Alaqa’ kemudian menjadi tulang yang akhirnya ditutupi oleh daging (Rahman 1979:13).

Ada sejumlah kesulitan dengan Surat ini. Namun yang paling penting, tidak ada tahap pembekuan selama pembentukan janin (Campbell 1989:185). Selanjutnya, sperma tidak menjadi "segumpal darah" atau sel telur yang dibuahi tanpa sel telur tidak dibuahi. Keduanya saling membutuhkan. Kedua, "hal yang melekat" tidak berhenti berpegangan untuk menjadi "segumpal daging“ tetapi tetap menempel selama 8,5 bulan! Dan akhirnya kerangka tidak dibentuk sebelum daging (atau otot), sebab otot dan calon tulang rawan dari tulang mulai membentuk secara simultan (Campbell 1989:188). Bahkan, menurut Dr T.W. Sadler PhD, penulis Embriologi Kedokteran Langman, lewat sebuah surat pribadi kepada Dr Campbell pada tahun 1987, telah membuktikan bahwa otot-otot terbentuk beberapa minggu sebelum ada pembentukan tulang, bukan setelah terbentuknya tulang seperti yang Al Qur'an siratkan (Campbell 1989:188).

Sungguh ironis mendengar ayat-ayat diatas dikutip sebagai bukti oleh para apologet modern yang membanggakan keilmiahan Qur'an, padahal sebenarnya, sekali kebenaran diketahui, maka sadarlah mereka bahwa sainslah yang akan membuktikan kekelirun Al Qur’an.


C.4.a. Solusi Yang Memungkinkan ("Sejarah Penyelamatan")

Islam mengatakan bahwa wahyu Qur'an diterima oleh Muhammad dan dikompilasi ke dalam bentuk tertulis terakhir oleh Zaid ibn Thabit antara tahun 646-650 M, di bawah naungan khalifah ketiga, Usman (Glasse 1991:230). Sejarawan mengambil dua posisi dalam menanggapi pernyataan Tradisi Muslim ini.
Kelompok pertama, yang didukung oleh sejarawan John Burton, agak setuju dengan Tradisi Islam yang menyatakan bahwa Al Qur’an disusun selama Muhammad hidup atau segera setelah Muhammad meninggal. Burton dalam pembelaannya menggunakan teks-teks Qur’an ke zaman sekitar kehidupan nabi. Di kalangan pelajar Barat hanya ada sedikit yang setuju dengan Burton. Banyak cendekiawan Barat menemukan teori Burton tidak cukup logis karena ada begiitu sedikit teks tertulis yang menjadi dasar kesimpulan setiap kesimpulannya (Rippin 1985:154).

Posisi kedua langsung berhadapan dengan Tradisi Muslim, seperti yang didukung oleh John Wansbrough, dari SOAS (University of London). Dia menggunakan analisa historis mirip dengan kritik Al kitab untuk sampai pada kesimpulan (Wansbrough 1977:9). Wansbrough berpendapat bahwa Al Qur'an, seperti yang kita kenal dengan segala permasalahannya literal dan struktural, belum hadir sampai tahun 800-an Masehi (Wansbrough 1977:160-163). Al Qur'an bukan teks yang diserahkan kepada dunia melalui satu orang, melainkan melibatkan karya berbagai penulis dari sekitar abad kesembilan (Wansbrough 1977:51).

Wansbrough memperluas klaim ini dengan mempertahankan bahwa seluruh korpus dokumentasi Islam awal harus dipandang sebagai "Sejarah Penyelamatan", yakni sejarah yang bukan catatan sejarah terbuka untuk dipelajari para sejarawan, sebab kejadian sejarah keselamatan itu tidak pernah terjadi, namun sejarah Sejarah Penyelamatan yang memiliki bentuk sastra dan konteks historisnya sendiri" (Thompson 1974:328). Dengan kata lain, kisah-kisah ini ditulis dengan agenda dalam pikiran, bukan penuturan fakta sejarah.

Dengan demikian, catatan sastra Sejarah Penyelamatan menunjukkan bahwa kisah-kisah ini ditulis menurut interpretasi generasi terkemudian di agar sesuai dengan etos yang waktu saat itu, meskipun mereka menampilkan diri sebagai kontemporer dengan peristiwa yang mereka gambarkan, sebenarnya milik periode setelah peristiwa tersebut, Hal ini menyarankan bahwa kisah-kisah ini ditulis berdasarkan interpretasi generasi kemudian untuk memenuhi permasalahan waktu itu. “Sejarah” sebenarnya, dalam kerangka “apa yang telah benar-benar terjadi saat itu”, telah secara sadar dibenamkan dalam interpretasi terkemudian dan hampir, kalau tidak sepenuh-penuhnya, tak terpisahkan dari interpretasi itu (Crone 1987:213-215; Rippin 1985:156).

Pertanyaan tentang apakah ada "butiran kebenaran sejarah" yang mendasari kisah-kisah Qur’an adalah fokus perhatian kita di sini. Bahkan jika kita mengakui bahwa ada "kernel" kebenaran sejarah, menjadi hampir mustahil untuk mengidentifikasi itu.

Wansbrough berpendapat bahwa Al Qur'an, Tafsir, dan Sirah, semuaanya adalah komponen Sejarah Penyelamatan versi Islam, yang ditulis untuk merujuk pada peranan Tuhan dalam mengarahkan urusan duniawi umat manusia, khususnya selama masa hidup Muhammad (Rippin 1985: 154).
Dia berpendapat bahwa kita tidak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang bisa kita tahu adalah apa yang generasi-generasi terkemudian percayai sebagai “pernah terjadi”, seperti yang telah tercatat dalam Sejarah Penyelamatan.

Wansbrough menyarankan bahwa titik Sejarah Penyelamatan versi Islam adalah untuk merumuskan identitas keagamaan khusus Arab. Hal ini dilakukan dengan mengadopsi dan mengadaptasi gudang ide dan cerita dari keagamaan Yudeo-Kristen yang telah mapan tema-tema keagamaan, suatu kecenderungan yang bermulad di abad ketujuh di Arabia. Wansbrough mengacu pada bukti-bukti dalam Qur'an yang menunjuk pada ekstrapolasi dari konteks Yahudi-Kristen: misalnya, garis kenabian berakhir pada Nabi Terakhir dari Para Nabi, urutan kitab suci, gagasan masyarakat yang hancur, dan narasi motif yang umum (Rippin 1985:157).
Jika analisis Wansbrough benar, maka akan menjadi semakin sulit untuk mempertahankan Al Qur'an sebagai sumber yang akurat bagi Islam, atau sebagai sumber untuk Tradisi Islam, terutama mengingat kenyataan bahwa Al Qur’an ditulis jauh setelah tanggal perkiraan awal ditulisnya berdasarkan Tradisi Muslim sendiri. 
Sementara penanggalan Qur'an adalah batu sandungan besar bagi klaim keasliannya, pada kenyataannya malahan itu bukan satu-satunya masalah.

Sebagai tanggapan, ada banyak ulama yang berpendapat bahwa kehadiran terus-menerus sejumlah pria yang telah hafal Al Qur'an secara keseluruhan terjaga kredibilitasnya. Orang-orang ini dipanggil Hafiz. Mereka adalah para penghafal Al Qur'an yang darinya para pengumpul naskah Qur’an terkemudian bisa merujuk jika ada pertanyaan muncul (Glasse 1991:143,230).

Saat ini kita memiliki cukup banyak hafiz yang masih hidup di Timur Tengah dan Asia (bahkan ada satu kuliah di SOAS). Kita tahu apakah mereka telah hafal Al Qur'an dengan benar, sebagaimana kita bias merujuk pada teks yang ditulis dan memastikan apakah apa yang mereka benar-benar mengikuti secara tepat atau tidak. Pertanyaannya adalah kepada apa para pengumpul naskah Qur’an itu merujuk dan memastikan kebenaran dari Hafiz pada jaman itu jika terdapat perbedaan pelafalan, kata dll jika tidak ada standard teks yang sudah tersusun? Kalaupun ada, seperti klaim Muslim, mana dokumen-dokumennya?
Pada dasarnya kita kembali ke masalah yang sama yang kita bahas di bagian sebelumnya. Para penghafal Qur’an awal, konon, memiliki dokumen yang mereka hafalkan, sebab kredibilitas Hafiz didapat dari derajat kemiripan pendarasannya dengan dokumen yang ia klaim miliki, bukan sebaliknya. Nah sekarang, apakah dokumen-dokumen itu pernah ada? Jika mereka hanya menghafal apa yang mereka dengar dari semacam tradisi lisan, maka pendarasan mereka menjadi lebih mencurigakan karena tradisi lisan, tradisi lisan terutama agama, secara alami rentan terhadap pelebih-lebihan, pengarang-ngarangan, pembubuhan, dan akibatnya informasinya menyimpang.

Lalu apa yang harus kita lakukan dengan masalah internal yang kita temukan di dalam Al Qur'an? Bagaimana kita menjelaskan masalah struktural dan sastra, serta kisah-kisah contekan dan kejanggalan-kejanggalan ilmiahnya yang dimasukan ke dalam halaman-halamannya? Kesulitan-kesulitan ini menjauhkan kita dari klaim penulisan Qur’an yang dianggap ilahi, dan mengarahkan kita pada skenario yang paling memungkinkan, bahwa Qur’an tidak lebih dar kumpulan kumpulan sumber-sumber berbeda yang dicomot dari potongan-potongan sastra, cerita rakyat, atau tradisi lisan yang beredar pada jaman itu, dan sengaja dicangkokkan oleh para kompiler yang tidak mencurigai bahwa suatu saat modus mereka akan tercium dan diketahui.
Karena penanggalan Qur’an yang meragukan, fakta bahwa tidak ada dokumentasi substansial yang hadir sebelum 750 AD, dan sumber-sumber berbeda yang darinya kisah-kisah Qur’an berasal, serta aplikasi tertentu bagi kaum Arab, penting bagi kita untuk tidak menggunakannya sebagai sumber dalam memastikan keasliannya sendiri. Pada dasarnya kita dibiarkan dengan begitu sedikit materi Islam awal yang darinya kita dapat menggambarkan otoritas apapun untuk Qur'an, atau asal-usul Islam.

Di mana kemudian kita bisa menemukan asal-usul Islam yang benar, jika baik Tradisi Muslim dan Qur'an sendiri mencurigakan?