B. Masalah-masalah Dalam Tradisi Islam

B.  Masalah-masalah dalam Tradisi Islam

Dalam rangka untuk membuat kritik terhadap Al Qur'an, adalah penting untuk tidak menekankan pada apa yang para penafsir jaman ini katakan,
namun langsung kembali ke awal, ke sumber-sumber paling awal dari Al Qur'an yang kita miliki, untuk memetik petunjuk yang berkenaan dengan
otentisitasnya. Kita akan berasumsi bahwa ini haruscukup mudah dilakukan, karena merupakan suatu bentuk sastra yang relatif muda yang muncul di tempat kejadian, yang menurut Muslim “hanya 1.400 tahun yang lalu."


B.1.  Sumber-sumber

Pertanyaan mengenai sumber-sumber selalu menjadi area perdebatan bagi sarjana sekuler Islam, seperti halnya studi Al Qur’an harus dimulai dengan masalah sumber-sumber primer atau sekunder:

- Sumber primer adalah bahan-bahan yang terdekat, atau memiliki akses langsung ke kejadian tersebut.

- Sumber sekunder berkenaan dengan material yang cenderung lebih baru dan, akibatnya, tergantung pada sumber-sumber primer.

Dalam Islam, sumber-sumber primer yang kita miliki adalah 150-300 tahun setelah kejadian yang mereka gambarkan, dan oleh karena itu cukup jauh dari peristiwa-peristiwa tersebut (Nevo 1994:108; Wansbrough 1978:119; Crone 1987:204). Untuk alasan tersebut mereka disebut sumber-sumber sekunder, sebagai tujuan praktis, karena mereka bergantung pada bahan lain yang banyak tidak lagi ada. Yang pertama dan terbesar dari sumber-sumber tersebut adalah "Tradisi Islam atau Tradisi Muslim." Karena pentingnya Tradisi Muslim ini, maka sangat penting bagi kita untuk mengupas mereka terlebih dahulu.

Tradisi Muslim terdiri dari tulisan-tulisan yang disusun oleh Muslim di akhir abad kedelapan sampai awal abad kesepuluh awal tentang apa yang nabi
Muhammad katakan dan lakukan di masa hidupnya di abad ketujuh, dan tentang komentar-komentar Al Qur’an. Sejauh ini catatan-catatan seperti itulah yang menjadi bahan yang paling luas yang kita miliki saat ini tentang periode awal Islam. Mereka juga ditulis secara lebih mendetil dari pada apapun yang kita miliki saat ini, dalam catatan tersebut memasukan tanggal dan penjelasan atas apa yang terjadi. Catatan-catatan tersebut menjadi pelengkap Al Qur'an.

Al Quran pada dirinya sendiri adalah sulit untuk diikuti, karena membuat pembaca bingung ketika temanya melompat dari cerita satu ke cerita lainnya dengan sedikit latar belakang narasi atau penjelasan. Adalah pada titik ini bahwa tradisi menjadi penting karena mereka mengisi rincian yang
dinyatakan hilang. Dalam beberapa kasus Tradisi menang atas Al Qur'an. Sebagai contoh : ketika Al Qur'an mengacu pada tiga doa harian (Surah 11:114, 17:78-79, 30:17-18 dan mungkin 24:58), sedangkan dalam Tradisi Muslim shalat lima waktu ditetapkan oleh tradisi terkemudian telah diadopsi oleh kaum Muslim (Glasse 1991:381).

Sejumlah genre dapat kita temukan dalam tradisi-tradisi. Para penulis Tradisi ini bukanlah penulis professional, melainkan pengumpul kisah dan
editor yang mengumpulkan informasi yang “diturunkan kepada mereka," dan terciptalah Tradisi itu. Ada banyak pengumpul kisah, tapi empat yang
dianggap oleh banyak umat Islam yang paling berwibawa dalam genre masing-masing. Para pengumpul kisah ini hidup dan mengumpulkan materi
mereka antara 750-923 AD (atau 120-290 tahun setelah kematian Muhammad). Mungkin akan membantu untuk mendaftar karya-karya mereka, bersama dengan tanggal mereka:

1. Sirrat Nabi adalah catatan tentang kehidupan tradisional nabi (termasuk pertempuranpertempurannya). Sirrat yang paling komprehensif ditulis oleh Ibn Ishaq (meninggal 765 AD), meski tidak satupun dari manuskrip yang ia miliki ada pada kita saat ini. Akibatnya, kita tergantung pada Sira Ibn Hisham (meninggal 833 AD), yang katanya ia ambil dari Ibn Ishaq, meskipun menurut pengakuannya sendiri (berdasarkan penelitian dari Patricia Crone) Ibnu Ishaq menghilangkan bagian-bagian yang yang
mungkin menyebabkan kontroversi (yakni kisah manapun yang ia rasakan menjijikkan, puisi yang tidak bisa dibuktikan di bagian-bagian lain, serta hal-hal yang dia tidak bisa terima sebagai dapat dipercaya) (Crone 1980:6).

2. Hadits adalah ribuan laporan pendek atau narasi (Akhbar) tentang perkataan dan perbuatan nabi yang dikumpulkan oleh Muslim di abad
kesembilan dan kesepuluh. Dari enam koleksi Hadis yang paling terkenal, hadis-hadis al-Bukhari- lah (meninggal 870 AD) yang dianggap oleh banyak muslim sebagai yang paling otoritatif.

3. Tarikh adalah sejarah atau kronologi kehidupan nabi, yang paling terkenal ditulis oleh al-Tabari (meninggal 923 AD) pada awal abad kesepuluh.

4. Tafsir adalah komentar dan penafsiran di Al Qur'an, tata bahasa dan konteksnya, yang paling dikenal juga ditulis oleh al-Tabari (meninggal 923
AD).


B.2.  Kemunculan Yang Begitu Terlambat

Jelas, pertanyaan pertama yang harus kita pertanyakan adalah mengapa tradisi ini ditulis begitu terlambat, yakni 150-300 tahun setelah kejadian? Kita sama sekali tidak memiliki “catatan dari komunitas Islam selama 150 tahun pertama , antara penaklukan Arab pertama, yakni dari awal abad ketujuh, hingga kemunculan komunitas islam, dengan narasi siramaghazi,
sebagai awal literatur Islam, yakni di akhir abad kedelapan (Wansbrough 1978:119). Kita seharusnya berharap untuk menemukan dalam masa 150 tahun itu setidaknya sisa-sisa bukti pengembangan agama Arab tua menuju Islam, namun kita menemukan apa-apa (Nevo 1994:108;
Crone 1980:5-8) .

Ada Muslim yang tidak setuju dengan fakta di atas, dengan tetap mempertahankan bahwa ada bukti tradisi sebelumnya, utamanya Muwatta oleh Malik ibn Anas (lahir 712 M dan meninggal pada 795 M). Norman Calder dalam bukunya Study in Early Muslim Jurisprudence tidak setuju dengan penanggalan awal seperti itu dan banyak pertanyaan menyangkut karya tersebut dapat dikaitkan dengan penulis-penulis yang disebutkan di situ. Dia berpendapat bahwa sebagian besar teks yang kita miliki dari para penulis ini, yang dianggap sebagai penulis islam awal, adalah "kumpulan teks" yang ditransmisikan dan dikembangkan selama beberapa generasi, dan mencapai bentuk yang kita ketahui lebih terkemudian sebagai karya dari "penulis" yang disangkakan, yaitu mereka yang dianggap menulis kisah-kisah itu.

Dengan mengikuti anggapan bahwa saat itu "aliran Syafi'i'" (yang menuntut bahwa semua hadis ditelusuri kepada Muhammad) belum berlaku sampai
setelah 820 M, ia menyimpulkan bahwa karena Mudawwana tidak berbicara tentang otoritas kenabian Muhammad sedangkan Muwatta tidak,
Muwatta selayaknya jadi dokumen yang terkemudian. Akibatnya, posisi Calder Muwatta harusnya hadir sebelum tahun 795 M, tapi kadang setelah Mudawwana yang ditulis pada tahun 854 M. Kenyataannya Calder menempatkan Muwatta bahkan tidak di Arab abad kedelapan namun di Cordoba, Spanyol abad kesebelas (Calder 1993). Jika ia benar maka kita memang ditinggalkan dengan begitu sedikit bukti dari setiap tradisi dari masa awal Islam.

Humphreys mengkristal masalah ini ketika dia menunjukkan bahwa, "Kita akan menganggap umat Islam pastilah dilecut sedemikian rupa untuk
mencatat prestasi spektakuler mereka, sementara yang kaum terpelajar dan masyarakat perkotaan yang akan segera ditundukkan oleh Islam hampir tidak mengetahui nasib yang akan menimpa mereka "(Humphreys 1991:69). Menurut Humphreys semua yang kita temukan dari periode awal ini merupakan sumber yang, " entah perspektif yang fragmentaris, atau sangat spesifik , atau bahkan eksentrik," benar-benar membatalkan setiap kemungkinan untuk merekonstruksi Islam abad pertama secara memadai
(Humphreys 1991: 69).

Untuk itu pertanyaan yang harus ditanyakan di sini adalah dari mana para pengumpul kisah nabi di abad 8 & 9 mendapatkan bahan cerita mereka?
Jawabannya adalah bahwa kita tidak tahu. "Bukti yang kita miliki dokumen-tasi sebelum 750 M hampir seluruhnya terdiri dari kutipan yang agak meragukan dari kompilasi yang dilakukan terkemudian." (Humphreys 1991:80) Akibatnya, kita tidak memiliki bukti yang dapat dipercaya jika tradisi benar-benar berbicara tentang kehidupan Muhammad, atau bahkan Qur'an (Schacht 1949:143- 154). Kita diminta untuk percaya bahwa dokumen-dokumen ini, yang ditulis ratusan tahun kemudian, sebagai dokumen yang akurat. Sayangnya kita tidak  disajikan dengan bukti kejujuran mereka; di luar isnad - yang tidak lebih dari daftar yang dimaksudkan untuk memberikan nama-nama mereka dari lisan yang ini
tradisi diturunkan. Bahkan isnad sendiri kurang dalam dokumentasi pendukung yang dapat digunakan untuk menguatkan otentisitas mereka
(Humphreys 1991:81-83), namun dilebih-lebihkan dalam tulisan-tulisan dikemudian hari.

B2a: Belum Berkembangnya Tradisi Tulis Menulis?

Muslim mempertahankan pandangan bahwa begitu terlambatnya sumber primer dapat dikarenakan budaya tulis menulis belum berkembang luas di daerah terisolasi seperti Arab pada saat itu. Asumsi ini sama sekali tidak berdasar, sebab budaya menulis di atas kertas sudah dimulai jauh sebelum abad ketujuh. Menulis di atas kertas ditemukan pada abad keempat, dan digunakan secara luas di dunia beradab sejak saat itu. Dinasti Umayyah bermarkas di daerah Siria, bekas provinsi Bizantium, dan bukan di Arab. Siria saat itu adalah suatu masyarakat yang canggih di mana para sekretaris dipekerjakan untuk tulis menulis di pengadilan Khalifah. Ini membuktikan bahwa budaya menulis naskah sudah dengan baik dikembangkan di sana.

Lebih jauh lagi kita diberitahu bahwa Arab (yang lebih dikenal sebagai Hijaz) di abad ketujuh dan sebelumnya, adalah daerah perdagangan, di mana rombongan karavan pedagang bolak-balik rute utara-selatan, dan mungkin timur-dan barat. Sementara bukti-bukti menunjukkan bahwa perdagangan terutama bersifat lokal (seperti yang akan kita bahas kemudian). Bagaimana para pedagang menyimpan catatan mereka jika alat tulis menulis tidak tersedia saat itu ? Mereka tentu tidak menghafal angka-angka di luar kepala sebagai catatan jual beli mereka bukan?

Dan akhirnya kita harus bertanya : bagaimana Al-Qur'an ada dalam bentuk sekarang jika tidak ada seorangpun yang mampu menggunakan pena dan kertas untuk menulis pada waktu itu?

Muslim mengklaim adanya sejumlah mushaf / naskah Qur'an tidak lama setelah kematian Muhammad, seperti mushaf Abdullah ibn Mas'ud, Abu Musa, dan Ubayy bin Ka'b (Pearson 1986:406). Dalam bentuk apakah mushaf ini jika mereka bukan dokumen tertulis ? Teks Usman sendiri harus sudah ditulis, jika tidak maka tidak akan disebut teks ! Budaya tulis menulis sudah ada, tapi untuk suatu alasan tertentu, mengapa tidak ada catatan sebelum tahun 750 M yang tersimpan?


B2b: Usia Ketahanan Kertas

Sarjana Muslim lain mempertahankan bahwa tidak adanya dokumentasi awal bisa disalahkan pada usia ketahanan kertas. Mereka percaya bahwa bahan atas mana sumber-sumber utama ini ditulis entah hancur dari waktu ke waktu, sehingga yang tersedia pada kita hanya sedikit saja, atau rusak karena perlakuan yang kasar oleh penggunanya sehingga hancur.

Argumen ini agak meragukan, sebab di British Library kita memiliki cukup banyak contoh dokumen yang ditulis oleh individu dalam masyarakat yang tidak terlalu jauh dari Arab, yang hidup ratusan tahun sebelum Muhammad hidup. Terpampang di museum itu manuskrip Perjanjian Baru seperti Codex Syniaticus dan Codex Alexandrinus, baik yang ditulis pada abad keempat, tiga sampai empat ratus tahun sebelum zaman Muhammad hidup ! Mengapa mereka tidak hancur karena usia?

Ketika kita menerapkannya pada Al Qur'an argumen ini sangatlah lemah. Mushaf Usman, yakni kanon Qur'an terakhir disusun oleh Zaid ibn Thabit, di bawah arahan khalifah ketiga Usman, dianggap oleh semua umat Islam sebagai bagian paling penting dari literatur yang pernah ditulis. Seperti yang kita catat sebelumnya, menurut Surah 43:2-4, Qur'an adalah "ibu dari semua kitab". Pentingnya Al Qur’an terletak pada keyakinan bahwa ia dianggap sebagai replika yang tepat dari "kitab abadi" yang ada di syurga (Surah 85:22). Tradisi Muslim memberitahu kita bahwa semua mushaf dan dokument pesaing lainnya telah dimusnahkan setelah 646-650 M. Bahkan mushaf yang Hafsah simpan, dari mana resensi final Qur'an diambil, akhirnya dibakar. Jika Mushaf Usmani ini begitu penting, mengapa saat itu tidak ditulis di atas kertas, atau bahan lain yang akan berlangsung sampai hari ini? Dan tentu saja, jika naskah awal robek atau rusak karena penggunaan, mengapa tidak diganti dengan mushaf yang ditulis pada kulit, seperti begitu banyak dokumen lama lainnya yang masih ada saat ini?

Kita sama sekali tidak memiliki bukti untuk teks asli Al Qur’an (Schimmel 1984:4). Kita juga tidak memiliki salah satu dari empat salinan yang konon dibuat sebagai resensi ini dan dikirim ke Mekah, Madinah, Basrah dan Damaskus (lihat argumen Gilchrist dalam bukunya Jam’ Al Quran, 1989, hal 140-154, serta Ling & Safadi The Qur'an 1976, hlm 11-17). Bahkan jika salinan tersebut entah bagaimana hancur karena usia, pasti akan ada beberapa fragmen dokumen yang masih kita bisa lihat.

Pada akhir abad ketujuh Islam telah meluas di seluruh Afrika Utara dan sampai ke Spanyol di barat, sampai ke India di timur, dan Al-Qur'an (menurut tradisi) adalah inti dari iman mereka. Tentu saja bahwa dalam lingkup pengaruh sebesar itu harus ada dokumen atau manuskrip Al-Qur'an yang masih eksis sampai hari ini. Namun, tidak ada dari periode itu sama sekali.

Sedangkan kekristenan dapat mengklaim lebih dari 5.300 manuskrip berbahasa Yunani yang dikenal dari Perjanjian Baru, 10.000 dokumen berbahasa Latin Vulgata dan setidaknya 9.300 versi awal lainnya, ditambah lebih dari 24.000 manuskrip Perjanjian Baru yang masih ada (McDowell 1990:43-55), sebagian besar yang ditulis antara 25 sampai 400 tahun setelah kematian Yesus (atau antara abad ke-1 dan ke-5) (McDowell 1972:39-49).
Ironisnya Islam tidak dapat memberikan sebuah naskah tunggal hingga memasuki abad kedelapan (Lings & Safadi 1976:17; Schimmel 1984:4-6). Jika Kristen bisa mempertahankan begitu banyak ribuan naskah kuno, yang semuanya ditulis jauh sebelum abad ketujuh, pada saat kertas belum diperkenalkan, dan berkutat pada ketergantungan pada papirus yang mudah rusak, kemudian orang bertanya-tanya mengapa Muslim tidak mampu meneruskan sebuah naskah tunggal dari periode yang begitu belakangan ini ? Kapan saat wahyu sebenarnya diungkapkan ? Ini memang menyajikan masalah bagi argumen bahwa semua mushaf Al Qur’an awal hanya hancur karena faktor usia, atau hancur karena mereka usang dipakai.

B2c: Dokumen-dokumen Yang Ada Sampai Saat Ini

Sebagai tanggapan, umat Islam berpendapat bahwa mereka memiliki sejumlah “turunan mushaf Usman". Salinan asli dari abad ketujuh masih milik mereka. Saya mendengar Muslim mengklaim bahwa ada salinan asli di Mekah, di Kairo dan di hampir setiap komunitas Islam kuno. Saya sering meminta mereka untuk melengkapi dengan data yang akan membuktikan keberadaan naskah kuno mereka, sebuah tugas yang sampai saat ini tidak seorang pun telah mampu lakukan.

Bagaimanapun ada dua dokumen yang memiliki kredibilitas, dan banyak dirujuk oleh umat Islam. Ini adalah Naskah Samarkand, yang terletak di Perpustakaan Negara di Tashkent, Uzbekistan (di bagian selatan dari bekas Uni Soviet), dan Naskah Topkapi, yang dapat ditemukan di Museum Topkapi Istanbul, Turki.

Kedua dokumen tersebut memang tua, dan telah dilakukan analisis etimologis dan paleografis yang cukup banyak pada dokumen tersebut oleh para scriptologists, serta ahli dalam kaligrafi Arab untuk menjamin diskusi mereka di sini.

Naskah Samarkand – (diambil dari Jam ' Al Quran Gilchrist 1989, pp 148-150) :
Naskah Samarkand ini sama sekali tidak lengkap. Bahkan, dari 114 Surah yang ada dalam Al Qur’an saat ini, hanya bagian dari Surah 2 sampai dengan 43 yang ada di naskah Samarkand ini. Dari sekian Surah yang ada pun banyak teks yang hilang. Inskripsi yang sebenarnya dari teks dalam naskah Samarkand ini menghadirkan masalah nyata, karena sangatlah tidak teratur. Beberapa halaman disalin rapi dan seragam, sementara yang lain tidak rapi dan tidak seimbang (Gilchrist 1989:139 dan 154). Pada beberapa halaman teks cukup luas, sedangkan di halaman lain teksnya ditulis padat berjejalan. Pada zaman itu aksara Arab KAF telah dikecualikan dari teks, sementara pada bagian lain, aksara ini tidak hanya diperluas tetapi menjadi dominan dalam teks. Karena begitu banyak halaman dengan naskah berbeda satu sama lain, maka asumsi kita hari ini adalah bahwa naskah tersebut adalah produk pengumpulan, disusun dari beberapa bagian-bagian naskah yang berbeda (Gilchrist 1989:150).

Juga dalam teks kita dapat menemukan iluminasi artistik antara Surah, biasanya terdiri dari beberapa baris kotak medali sebanyak 151 dengan warna merah, hijau, biru dan oranye. Iluminasi ini membimbing skriptologis untuk memberikan penanggalan akurat asal dokumen tersebut sebagai produk dari abad kesembilan, karena sangat tidak mungkin bahwa hiasan seperti itu muncul di abad ketujuh ketika konon naskah Usman dikirim ke berbagai propinsi (Lings & Safadi 1976:17-20; Gilchrist 1989: 151).

Naskah Topkapi :
Naskah Topkapi di Istanbul, Turki juga ditulis di perkamen, dan tidak memiliki vokalisasi (lihat Gilchrist, 1989, hal.151-153). Seperti naskah Samarkand, naskah inipun dilengkapi dengan medali hias yang menunjukkan usianya yang terkemudian (produk dari abad kesembilan) (Lings & Safadi 1976:17-20).

Muslim menyatakan bahwa ini juga haruslah salah satu salinan asli, jika bukan yang asli yang disusun oleh Zaid ibn Thabit. Namun kita hanya perlu membandingkannya dengan Naskah Samarkand untuk menyadari bahwa kedua naskah ini bukanlah naskah Usman asli. Misalnya, Naskah Istanbul Topkapi memiliki 18 garis per halaman sementara codex Samarkand di Tashkent hanya memiliki antara 8 dan 12 baris per halaman. Naskah Istanbul ditulis seluruhnya dengan cara yang sangat formal, kata-kata dan baris cukup ditulis seragam, sementara naskah Samarkand sering serampangan dan sangat terdistorsi. Kita tidak dapat meyakini bahwa kedua manuskrip disalin oleh para penulis kitab yang sama.

Analisa Naskah :
Para ahli dalam analisa naskah menggunakan tiga tes untuk memastikan usia mereka. Pertama, mereka menguji usia kertas di mana naskah itu ditulis, dengan menggunakan proses kimia seperti penanggalan karbon-14. Metoda ini cukup memadai untuk mengukur usia naskah seperti Al Qur'an. Ketepatan penanggalan biasanya berkisar dalam toleransi + / - 20 tahun. Namun selalu ada keengganan untuk menggunakannya karena jumlah bahan yang harus dihancurkan dalam proses tersebut (1 sampai 3 gram) akan memerlukan hilangnya terlalu banyak naskah. Bentuk yang lebih halus dari carbon-14, yang dikenal sebagai AMS (Accelerator Mass Spectometry) yang sekarang digunakan, hanya membutuhkan 0,5-1,0 mg dari bahan uji (Vanderkam 1994: 17). Namun, sampai saat ini tidak satu pun dari naskah ini telah diuji oleh metode ini canggih ini.

Para ahli juga mempelajari tinta naskah dan menganalisis materi non kertasnya. Kemudian menemukan di mana bahan tinta ini berasal, atau apakah ia telah dihapus dan ditimpa. Namun usia untuk dokumen-dokumen ini akan sulit untuk ditentukan karena keterlambatan dokumen. Masalah-masalah ini diperparah oleh tidak diberinya izin untuk mempelajari naskah ini secara rinci, karena rasa ketakutan dari orang-orang yang menjaga naskah tersebut (pent - jika klaim mereka terbukti salah).

Jadi para spesialis harus pergi menganalisa naskah itu sendiri, menganalisa apakah naskah itu baru atau lama. Penelitian ini lebih dikenal sebagai paleografi. Gaya penulisan naskah terus berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini cenderung seragam sebagai naskah biasanya ditulis oleh ahli tulis kitab profesional. Jadi tulisan tangan cenderung mengikuti konvensi yang berlaku saat itu, dengan hanya modifikasi secara bertahap (Vanderkam 1994:16). Dengan memeriksa tulisan tangan pada naskah tersebut, tanggal penulisaannya sudah bisa diketahui. Paleografer bisa membandingkannya dengan teks dengan tanggal penulisan lainnya dan dengan demikian memastikan dari mana jangka waktu penulisan mereka berasal.

Aksara Kufik :
Apa yang kebanyakan Muslim tidak sadari adalah bahwa kedua naskah ditulis dalam aksara kufik, aksara yang menurut para ahli Al Qur’an modern, seperti Martin Lings dan Yasin Hamid Safadi, tidak pernah muncul sampai akhir abad kedelapan (tahun 790-an s dan kemudian), dan sama sekali tidak digunakan di Mekkah dan Madinah pada abad ketujuh (Lings & Safadi 1976:12-13,17; Gilchrist 1989:145-146, 152-153).

Alasannya cukup sederhana. Pertimbangkan: aksara Kufik, biasanya dikenal sebagai al-Khatt al-Kufi, namanya berasal dari kota Kufah di Irak (Lings & Safadi 1976:17). Akan tampak aneh jika aksara ini dijadikan naskah resmi dari Al Qur'an bahasa Arab, sebab Kufah, aksara yang dari nama kotanya diambil ini, baru ditaklukan 10-14 tahun kemudian.

Penting untuk dicatat bahwa kota Kufah, berlokasi di Irak saat ini, adalah sebuah kota yang bercorak Sassanid atau Persia sebelum waktu itu (637-8 M). Jadi, sementara Arab akan telah dikenal di sana, Kufik tidak akan menjadi bahasa dominan, apalagi aksara dominan, sampai lama kemudian.

Pada kenyataannya kita ketahui bahwa aksara Kufik mencapai kesempurnaannya selama abad kedelapan akhir (sampai seratus lima puluh tahun setelah kematian Muhammad) dan setelah itu banyak digunakan di seluruh dunia Muslim (Lings & Safadi 1976:12,17; Gilchrist 1989:145-146). Ini masuk akal, karena setelah tahun 750 M Dinasti Abbasiyah mengendalikan Islam, dan karena mereka berlatar belakang Persia mereka bermarkas di daerah Kufah dan Baghdad. Mereka dengan demikian ingin aksara Kufik mendominasi. Setelah mereka sendiri didominasi oleh Bani Umayyah (yang berbasis di Damaskus) selama sekitar 100 tahun sebelumnya. Sekarang akan cukup dimengerti apabila tulisan bercorak Arab yang berasal di wilayah pengaruh mereka, seperti aksara Kufik, akan berevolusi menjadi apa yang kita temukan dalam dua dokumen yang disebutkan di atas.

Format Lanskap Tulisannya :
Faktor lain yang menunjuk pada tanggal terkemudian dari dua manuskrip tersebut adalah format di mana mereka ditulis. Kita akan mengamati bahwa karena gaya memanjang dari aksara Kufik ini, kedua naskah menggunakan lembaran yang lebih lebar bukannya tinggi. Hal ini dikenal sebagai 'format lanskap'. Format dipinjam dari Syria dan dokumen Kristen Irak dari abad kedelapan dan kesembilan. Semua naskah berbahasa Arab sebelumnya selalu ditulis dalam 'format tegak' (terima kasih kepada Dr Hugh Goodacre dari Kantor Koleksi Oriental dan India, yang menunjukkan fakta ini kepada saya untuk debat South Bank).

Oleh karena itu, karena kedua naskah ini ditulis dalam aksara Kufik, dan karena mereka menggunakan format lanskap, adalah masuk akal jika baik Manuskrip Topkapi dan Samarkand tidak mungkin ditulis lebih awal dari 150 tahun setelah jaman naskah Usman, atau seperti perkiraan awal yaitu antara awal akhir tahun 700 atau 800-an awal (Gilchrist 1989:144-147).

Naskah Ma'il dan Mashq :
Jadi naskah Qur'an macam apa yang digunakan di Hijaz (Arab) pada saat itu ? Kita tahu bahwa ada dua naskah Arab awal yang muslim modern tidak kenal. Kedua naskah itu adalah naskah al-Ma'il, yang dikembangkan di Hijaz, khususnya di Mekah dan Madinah, dan Naskah Mashq, yang juga dikembangkan di Medinah (Lings & Safadi 1976:11; Gilchrist 1989:144-145). Aksara al-Ma'il mulai dipakai pada abad ketujuh dan mudah diidentifikasi, seperti yang ditulis sedikit miring (lihat contoh pada halaman 16 Jam’ Al Quran, Gilchrist -1989). Sebenarnya kata al-Ma'il itu sendiri berarti "miring." Aksara ini bertahan selama sekitar dua abad sebelum akhirnya tidak digunakan sama sekali.

Naskah Mashq juga ditulis pada abad ketujuh, tetapi terus digunakan selama berabad-abad. Naskah ini bercirikan huruf yang lebih horizontal dan dapat dibedakan dengan gaya agak kursif / melengkung dan santai (Gilchrist 1989:144). Jika Al Qur’an telah disusun saat ini pada abad ketujuh, maka kita beranggapan Qur'an pasti ditulis baik dalam aksara Ma'il atau Mashq.

Menariknya, kita memang memiliki Al Qur’an yang ditulis dalam aksara Ma'il, dan dianggap Qur'an yang paling awal di tangan kita hari ini. Namun naskah ini tidak ditemukan entah di Istanbul atau Tashkent, tapi, ironisnya berada di British Library di London (Lings & Safadi 1976:17,20; Gilchrist 1989:16,144). Naskah ini telah dianalisa penanggalannya dan diketahui ditulis di akhir abad kedelapan, oleh Martin Lings, mantan kurator naskah Perpustakaan Inggris, yang merupakan seorang Muslim juga. Oleh karena itu, dengan bantuan analisis naskah, kami cukup yakin bahwa tidak ada manuskrip yang diketahui dari Al Qur'an yang kita miliki sekarang yang dapat tanggal dari abad ketujuh (Gilchrist 1989:147-148,153).

Selain itu, hampir semua fragmen manuskrip awal Al Qur'an yang kita miliki dan telah diperiksa tanggal kemunculannya, tidak ada dari naskah tersebut yang ditulis dalam jangka waktu 100 tahun setelah kematian Muhammad. (pent : Semuanya lebih terkemudian dari 1 abad pertama setelah kematian Muhammad).

Dalam bukunya Kaligrafi dan Kebudayaan Islam, Annemarie Schimmel menggarisbawahi poin ini ketika ia menyatakan : “kecuali naskah Qur'an yang baru-baru ini, semua fragmen dapat ditelusuri kemunculannya sejauh sampai kuartal pertama abad kedelapan. (Schimmels 1984:4) (pent -berarti paling tua hanya muncul sekitar tahun 725 M). Menariknya, Al Qur’an dari Sanaa ini masih tetap menjadi misteri, karena pemerintah Yaman belum mengizinkan para peneliti Jerman yang menganalisa naskah itu untuk menerbitkan temuan mereka. Mungkinkah ini ada sebuah usaha untuk menutup-nutupi apa yang naskah ini mungkin akan ungkapkan? Ada kesan bahwa naskah dalam Al Qur’an awal abad kedelapan ini tidak sesuai dengan Qur'an yang kita miliki saat ini. Kita masih menunggu untuk mengetahui seluruh kebenarannya.

Namun dari bukti-bukti yang kita miliki, tampaknya tidak mungkin bahwa bagian-bagian dari Al-Qur'an yang disalin pada zaman Usman selamat. Apa yang tersisa pada kita adalah usaha campur tangan 150 tahun kemudian yang kita tidak dapat jelaskan.

Sebelum melanjutkan topik kita ke Al Qur'an, mari kita kembali ke tradisi Muslim dan melanjutkan diskusi kita pada poin terpenting apakah sumber-sumber awal Qur'an ini dapat memberikan penilaian yang memadai akan otoritas Al Qur'an. Kumpulan tradisi yang paling banyak digunakan adalah Hadits.


B3: Kredibilitas

Ada banyak diskusi mengenai kredibilitas kompilasi hadits, tidak hanya di kalangan sejarawan sekuler, tetapi dalam Islam juga, bahkan sampai saat ini.
Seperti kita catat sebelumnya, sebagian besar teks sejarah kita tentang Islam awal yang disusun antara tahun 850-950 M (Humphreys 1991:71). Semua kumpulan naskah terkemudian ini digunakan sebagai standar mereka, sedangkan materi sebelum tahun-tahun itu tidak bisa menjadi bukti yang menguatkan berkaitan dengan akurasinya (Humphreys 1991:71-72). Bisa jadi bahwa tradisi sebelumnya tidak lagi relevan, dan begitu juga dibiarkan lapuk, atau dihancurkan. Kita tidak tahu. Apa yang kita tahu adalah bahwa para pengumpul itu kemungkinan besar mengambil materi mereka dari koleksi yang dikumpulkan dalam dekade sekitar 800 M, dan bukan dari dokumen yang ditulis pada abad ketujuh, dan tentu bukan dari pribadi Muhammad atau sahabatnya (Humphreys 1991 : 73, 83; Schacht 1949:143-145; Goldziher 1889-90:72).

Kita juga tahu bahwa banyak dari mereka kompilasi parafrase dari Akhbar sebelumnya (anekdot dan frase) yang mereka anggap dapat diterima, meskipun apa kriteria yang mereka pakai untuk membedakan yang bisa dan tidak bisa diterima masih tidak jelas (Humphreys 1991:83). Sekarang tampak jelas bahwa awal abad kesembilan "aliran hukum / fiqih" mengotentifikasi agenda mereka sendiri dengan menegaskan bahwa doktrin-doktrin mereka datang awalnya dari sahabat nabi dan kemudian dari nabi sendiri (Schacht 1949:153-154).

Schacht berpendapat bahwa asal muasal pengambil-alihan ini berasal dari sarjana al-Syafi'i (meninggal pada 820 AD). Dialah yang menetapkan bahwa semua tradisi hukum harus dilacak kembali ke Muhammad untuk mempertahankan kredibilitas mereka. Akibatnya sejumlah besar tradisi hukum oleh aliran Fiqih klasik pada masa itu diserukan seakan-akan bersumber dari zaman nabi, yang akibatnya memunculkan ekspresikan doktrin-doktrin lain seperti halnya dari aliran Iraqian, dan bukan dari Arab awal (Schacht 1949: 145). Inilah agenda yang ditekankan oleh masing-masing sekolah hukum tentang pilihan tradisi dalam abad kesembilan dan kesepuluh yang banyak orang percayai berasal dari hadits.

Wansbrough setuju dengan Humphreys dan Schacht ketika ia mengatakan bahwa catatan sastra ini, walaupun menampilkan setting waktu yang kontemporer dengan peristiwa yang mereka gambarkan, sebenarnya milik masa jauh sesudah kejadian tersebut, yang menunjukkan bahwa mereka telah ditulis sesuai dengan poin terkemudian untuk memenuhi tujuan dan agenda di zaman terkemudian (Rippin 1985:155-156). (pent - dengan kata lain, hadits-hadits itu menggambarkan Muhammad yang berbicara menyoal ini dan itu, padahal itu tidak pernah terjadi, semua itu dijadikan alat untuk melegitimasi keyakinan dan produk hukum kaum fiqh pada tahun 800an. Untuk memperkuat keyakinan mereka maka figur Muhammad dicomot sebagai figur komunikator).
Ambil contoh dari Syi'ah. Agenda mereka memang cukup transparan, karena mereka mempertahankan bahwa dari 2.000 hadits yang valid mayoritas (1.750) berasal dari Ali, menantu nabi, yang kepadanya kaum Syi'ah mencari inspirasi. Bagi seorang pengamat, selintas kelihatannya ini agak mencurigakan. Jika premis keaslian Syi'ah itu murni politik, lalu mengapa tidak kita simpulkan premis yang sama pada para penyusun lain dari tradisi ?

Pertanyaan yang harus kita ajukan di sini adalah adakah "butiran kebenaran sejarah" yang mendasari yang tersisa bagi kita untuk digunakan ? Schacht dan Wansbrough keduanya skeptis mengenai hal ini (Schacht 1949:147-149; Wansbrough 1978:119).
Patricia Crone mengambil argumen satu langkah lebih jauh dengan berpendapat bahwa kredibilitas tradisi tersebut sudah hilang akibat bias dari setiap individu pengumpul kisah. Dia menyatakan, “Karya-karya para penyusun pertama seperti Abu Mikhnaf, Sayf bin 'Umar,' Awana, Ibn Ishaq dan Ibn al-Kalbi adalah tumpukan sekadar dari tradisi yang berbeda-beda, tidak mencerminkan satu kepribadian, aliran, waktu atau tempat: Sebagai seorang Madinah Ibnu Ishaq mentransmisikan tradisi yang mendukung Irak, sehingga tradisi Saif Irak menentangnya. Dan semua kompilasi dicirikan dengan dimasukkannya materi dalam mendukung pendekatan hukum dan doktrinal yang bertentangan. (Crone 1980:10) “Dengan kata lain", sekolah-sekolah lokal hukum sebenarnya membentuk tradisi-tradisi yang berbeda, bergantung pada konvensi lokal dan pendapat ulama setempat (Rippin 1990:76-77). Nantinya para sarjana menyadari keragaman ini dan melihat perlunya menyatukan hukum Islam. Solusinya ditemukan dengan cari mengaitkan kisah-kisah itu dengan tradisi Nabi, yang akan membut kisah itu memiliki otoritas, bukan hanya pendapat seorang ulama. Oleh karena itu tradisi-tradisi yang dikaitkan dengan Muhammad mulai berkembang biak dari sekitar 820 M dan  seterusnya (Schacht 1949:145; Rippin 1990:78).

Ambil contoh Sirah, yang memberi kita bahan terbaik tentang kehidupan nabi. Tampaknya Sirah mengambil beberapa informasi dari Al Qur'an. Meskipun Isnad digunakan untuk menentukan keaslian (yang kita ketahui sekarang menjadi tersangka, seperti yang akan kita lihat nanti), otoritasnya tergantung pada otoritas Al Qur'an, yang kredibilitas sekarang juga diragukan (juga akan dibahas dalam bagian selanjutnya). Menurut G. Levi Della Vida, dalam artikelnya tentang Sirah, pembentukan Sirah sampai ke periode reduksi kemudian dibakukan bentuk tampaknya telah terjadi sebagai berikut:

Seiring meningkatnya penghormatan yang terus kepada figur Muhammad, hal ini memprovokasi suatu hagiographical (pengagungan / pemberhalaan) dari figur yang kurang lebih cacat secara historis menjadi figur legenda di mana kisah-kisahnya mengambil model dari tradisi Yahudi dan Kristen (mungkin juga Iran, meskipun pada tingkat yang jauh lebih rendah). (Levi Della Vida 1934:441)

Dia melanjutkan penjelasannya bahwa bahan-bahan ini menjadi, terorganisir dan sistematis di sekolah-sekolah muhadditsun Madinah, melalui 'pengisahan sebagaimana midrash yahudi,' secara halus dan penuh kombinasi, terdiri dari bacaan-bacaan dari Al Qur'an yang penafsirannya telah didekat-dekatkan dengan kejadian dalam kehidupan nabi. Ini adalah cara bagaimana kisah-kisah tentang kehidupan nabi di Madinah dibentuk (Levi Della Vida 1934:441).

Oleh karena itu kita ditinggalkan dengan dokumen-dokumen islam yang tingkat kredibilitas rendah (Crone 1987:213-215). Bahkan materi sebelumnya hanya sedikit membantu kita. Kisah-kisah Maghazi, yang bercerita tentang pertempuran nabi, adalah dokumen muslim paling awal yang kita miliki. Mereka seharusnya memberi kita gambaran terbaik tentang zaman itu, namun mereka menceritakan begitu sedikit tentang kehidupan nabi atau ajarannya. Bahkan, anehnya tidak ada dalam dokumen ini bagian yang menunjukan penghormatan terhadap Muhammad sebagai nabi!


B4: Kontradiksi

Masalah lebih lanjut dengan tradisi-tradisi ini adalah adalah kontradiksi, kebingungan dan inkonsistensi serta anomali yang nyata di seluruh kisahnya. Misalnya Crone bertanya, "Apa yang kita lakukan dengan pernyataan Baladhuri bahwa kiblat (arah sholat) di masjid Kufah pertama adalah di sebelah barat ... bahwa ada begitu banyak Fatima, dan bahwa Ali kadang-kadang disebut sebagai saudara Muhammad ? Ini adalah tradisi di mana informasi nya tidak bernilai dan tidak menghasilkan apa-apa". (Crone 1980:12)

Beberapa penulis menuliskan laporan yang bertentangan dengan kisah-kisah yang mereka pernah tulis sebelumnya. (Humphreys 1991:73; Crone 1987:217-218). Al-Tabari, misalnya, sering memberikan kisah yang berbeda, dan kadang-kadang bertentangan dari insiden yang sama (Kennedy 1986:362). Pertanyaan tentang seberapa jauh al-Tabari mengedit tetap mengemuka. Apakah dia memilih Akhbar (cerita pendek) yang digunakan dalam rangka untuk mengembangkan dan mengilustrasikan tema-teman utama tentang sejarah negara Islam ? Kita tidak tahu.

Ibnu Ishaq memberitahu kita bahwa Muhammad mengalami kekosongan politik ketika memasuki Yathrib (Medina), tetapi kemudian ia mengatakan bahwa Muhammad merenggut otoritas dari penguasa di sana (Ibn Hisham ed.1860: 285, 385, 411). Ibnu Ishaq juga menceritakan bahwa orang-orang Yahudi di Madinah mendukung tetangga Arab mereka, namun kemudian mengatakan bahwa Muhammad dilecehkan oleh mereka (Ibn Hisham ed.1860: 286, 372, 373, 378). Manakah dari catatan-catatan tersebut yang jelas bertentangan yang harus kita percaya ? Sebagaimana Crone tunjukkan, "cerita-cerita tersebut dikisahkan dengan pengabaian, tanpa memandang fakta tentang situasi Madinah yang memungkinkan atau tidak". (Crone 1987:218)

Kesulitan lain adalah catatan-catatan lain yang bertentangan yang diberikan oleh pengumpul yang berbeda-beda (Rippin 1990:10-11). Banyak variasi pada tema umum. Ambil contoh 15 catatan yang berbeda dari pertemuan Muhammad dengan perwakilan dari agama non-Islam yang mengakui dia sebagai seorang nabi masa depan (Crone 1987:219-220). Beberapa tradisi menyebutkan kejadian ini terjadi selama masa kanak-kanak (Ibn Hisham ed.1860: 107), yang lain ketika ia berusia sembilan atau dua belas tahun (Ibn Sa'd 1960:120), sementara yang lain mengatakan dia berusia dua puluh lima pada waktu itu (Ibnu Hisyam ed.1860: 119). Beberapa tradisi menyatakan bahwa ia diramalkan oleh orang Kristen Ethiopia (Ibn Hisham ed.1860: 107), atau oleh orang-orang Yahudi (Abd al-Razzaq 1972: 318), sementara yang lain seorang peramal atau Kahin entah di Mekah, atau Ukaz atau Dhu'l-Majaz (Ibn Sa'd 1960:166; Nu'aym Abu 1950:95, 116f; Abd al-Razzaq 1972:317). Crone menyimpulkan bahwa apa yang kita miliki di sini tidak lebih dari "lima belas versi fiktif tentang suatu peristiwa yang tidak pernah terjadi"(Crone 1987:220).

Akibatnya sulit untuk memastikan mana laporan yang otentik, dan mana yang harus dibuang. Inilah masalah yang mengacaukan Muslim dan para orientalis bahkan sampai saat ini.

B5: Kemiripan-kemiripan

Di sisi lain, banyak dari tradisi mencerminkan materi yang sama seperti yang lain, menyiratkan daur ulang dari tubuh data yang sama selama berabad-abad tanpa referensi apapun dari mana ia berasal.

Ambil contoh sejarah al-Tabari tentang kehidupan nabi yang sama seperti Sirah Ibn Hisham, dan banyak yang sama dengan karyanya "Penjelasan tentang Al Qur'an", yang sama seperti koleksi Hadits Bukhari. Karena kesamaan mereka di tanggal yang kemudian, mereka tampaknya menunjukkan sumber tunggal pada awal abad kesembilan, yaitu dari sumber di mana semua kisah dikutip (Crone 1980:11). Apakah ini menunjukkan adanya "kanonisasi" materi disahkan oleh para ulama? Mungkin, tapi kita tidak pernah bisa yakin.

Akibatnya, bahan-bahan ini menciptakan masalah besar bagi sejarawan yang hanya dapat mempertimbangkan mereka otentik jika ada data yang dapat diobservasi yang dapat secara obyektif dinilai berasal dari sumber-sumber luar yang sekunder, seperti sumber utama dari sumber-sumber utama yang darinya tradisi-tradisi ini didapatkan. Namun jika pun ada, kita hanya memiliki sedikit untuk dirujuk. Oleh karena itu, pertanyaannya yang harus diajukan adalah : apakah sumber-sumber utama pernah ada? dan jika demikian akankah kita dapat mengenali mereka, dengan menggunakan bahan sekunder yang kita miliki?

B6: Pengembang-biakan Kisah-kisah Yang Mendadak

Masalah lebih lanjut dengan tradisi-tradisi ini adalah proliferasi atau perkembang-biakan kisah(Rippin 1990:34). Seperti yang telah kami sebutkan, karya-karya awal ini baru muncul mulai abad kedelapan seterusnya (200-300 tahun setelah kejadian yang mereka lihat). Kemudian tiba-tiba mereka berkembang biak hingga ratusan ribu kisah. Mengapa? Bagaimana kita bisa menjelaskan perkembang-biakan kisah-kisah ini? Ambil contoh kematian 'Abdullah, ayah dari Muhammad. Para penyusun abad kedelapan pertengahan hingga (Ibnu Ishaq dan Ma'mar) menyepakati bahwa Abdullah sudah meninggal pada saat Muhammad masih kecil, tetapi tidak merinci spesifik kematiannya. Hanya Tuhan yang tahu '(Cook 1983:63).

Selanjutnya pada abad kesembilan tampaknya kematian Abdullah diketahui lebih banyak. Waqidi, yang menulis lima puluh tahun kemudian memberitahu kita tidak hanya kapan Abdullah meninggal, tetapi bagaimana dia meninggal, di mana ia meninggal, apa usia berapa, dan tempat penguburannya secara tepat. Menurut Michael Cook, "evolusi kisah ini dalam perjalanan setengah abad, dari ketidakpastian kepada kelimpahan detail yang tepat, menunjukkan bahwa cukup banyak dari apa Waqidi ketahui bukanlah fakta". (Cook 1983:63-65) Ini agaknya khas Waqidi. Dia selalu bersedia memberikan tanggal yang tepat, lokasi, di mana Ibn Ishaqpun, yang hidup ratusan tahun setelah kematian muhammad dan hidup sebelum Waqidi, tidak pernah mengetahui detailnya. Crone 1987:224).

"Tidak mengherankan", balas Crone, “bahwa ulama sangat menyukai Waqidi : di mana lagi bisa kita temukan informasi sangat tepat seperti tentang segala sesuatu yang ingin kita ketahui?" Namun, mengingat bahwa informasi ini semua tidak diketahui sebelumnya oleh Ibnu Ishaq, maka nilai kisahnya sangat diragukan. Dan jika informasi palsu terakumulasi pada periode ini, dalam dua generasi antara Ibn Ishaq dan Waqidi, sulit untuk menghindari kesimpulan bawa setidaknya ada 3 generasi terbentang antara Muhammad dan Ibnu Ishaq "(Crone 1987:224).

Akibatnya, tanpa pengawasan yang nyata, atau keinginan untuk menyajikan dokumentasi yang mendukung, para pengumpul kisah ini melebihi kewenangan mereka.
Para sarjana Muslim yang menyadari hal ini membiarkan perkembang-biakan ini dengan berpendapat bahwa agama Islam mulai stabil saat ini. Jadi, wajar bahwa karya sastra juga akan mulai tampil lebih banyak. Mereka katakan bahwa kisah-kisah versi awal tidak lagi relevan bagi Islam yang baru, dan akibatnya kisah-kisah awal itu entah dibuang atau hilang (Humphreys 1991:72).
Walaupun ada kepercayaan pada teori ini, orang akan berasumsi bahwa bahkan beberapa dokumen ini akan tetap, terselip di perpustakaan tertentu, atau dalam koleksi seseorang. Namun asumsi ini tidak terbukti, dan ini yang mencurigakan.

Namun, yang lebih penting lagi adalah apakah "naskah Qur'an Usman" (yang konon dijadikan naskah final yang disusun oleh Zaid ibnu Thabit pada 646-650 M, dan sumber bagi Qur'an kita sekarang) bisa dimasukkan dalam skenario ini ? Tentu saja akan dianggap relevan, sebab, seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, menurut tradisi semua naskah Qur'an dan salinan lain dibakar oleh Khalifah Usman segera setelah empat salinan itu dibuat. Di mana salinan ini hari ini ? Segmen naskah paling awal dari Al Qur'an yang kita miliki tidak lebih awal dari tahun 690-750 M! (Schimmel 1984:4) Apakah mereka yang memegang asumsi ini bersedia mengakui bahwa keempat salinan juga dibuang karena mereka tidak lagi relevan bagi Islam yang baru pada zaman itu ?

Lebih jauh lagi, banyaknya jumlah hadits yang tiba-tiba muncul pada abad kesembilan menciptakan banyak skeptisisme. Telah diklaim bahwa pada pertengahan abad ke-9 ada lebih dari 600.000 hadits, atau cerita-cerita awal tentang kehidupan nabi ! Bahkan tradisi mengatakan bahwa begitu banyak hadits sehingga Khalifah yang berkuasa minta Al Bukhari, sarjana terkenal, untuk mengumpulkan perkataan yang benar dari 600.000 hadis itu. Jelas, bahkan saat itu ada keraguan mengenai kebenaran bagi begitu banyaknya hadits.
Bukhari tidak pernah menyebutkan kriteria yang ia pakai, kecuali pernyataan samar-samar "tidak dapat diandalkan" atau "tidak sesuai" (Humphreys 1991:73). Pada akhirnya, ia menetapkan hanya 7.397 hadits, atau kira-kira hanya 1,2%, yang bisa dipercayai! Namun lewat seleksi berikutnya jumlahnya menjadi 2.762 hadits shahih dari 600.000 (AKC 1993:12). Apakah ini berarti bahwa dari 600.000 hadis itu ada 592.603 yang palsu dan harus dibuang. Jadi hampir 99% dari hadits tersebut dianggap palsu. Benar-benar mengerikan !

Ironisnya skenario macam inilah yang menciptakan keraguan tentang keaslian dari setiap hadits. Dari mana 600.000 hadis awal ini berasal jika demikian banyak dianggap palsu? Apakah salah satu dari hadits yang palsu itu lolos diturunkan kepada kita sekarang? Apakah kita memiliki bukti keberadaan mereka sebelum waktu itu ? Tidak ada sama sekali !

Fakta bahwa mereka tiba-tiba muncul pada periode ini (pada abad kesembilan, atau 250 tahun setelah peristiwa dirujuk terjadi) dan tiba-tiba ditolak, tampaknya menunjukkan bahwa hadits-hadits ini diciptakan atau diadopsi pada saat ini, dan bukan pada tanggal yang lebih awal. Hal ini menggemakan pernyataan yang dibuat sebelumnya oleh Schacht mengenai kebutuhan dari penyusun abad kesembilan untuk mengotentikasi hukum-hukum dipinjam dari agama lain, dengan cara mengait-kaitkan dengan kehidupan nabi. Dengan tergesa-gesa mereka meminjam tradisi lain yang terlalu longgar dan saling bertentangan, yang pada gilirannya memaksa ulama untuk menstandarkan hadits-hadits yang mereka anggap mendukung agenda mereka.
Hal ini meninggalkan kita masalah, bagaimana mereka memutuskan hadits yang otentik dan yang tidak.

B.7. Isnad – Alur Transmisi Lisan

Untuk menjawab masalah ini, para sarjana Muslim mempertahankan asumsi bahwa alat utama untuk memilih antara hadits shahih dari hadits palsu adalah melalui proses transmisi lisan, yang dalam Bahasa Arab disebut Isnad. Muslim berpendapat bahwa isnad adalah ilmu yang digunakan oleh Bukhari, Tabari dan pengumpul lain pada abad kesembilan dan kesepuluh untuk memilih autentisitas kompilasi mereka. Untuk mengetahui siapa penulis asli dari banyak hadits yang mereka miliki, para penyusun memberikan sebuah daftar nama-nama yang seharusnya ditelusuri sampai penutur yang sezaman dengan kehidupan nabi sendiri. Karena pentingnya bagi diskusi kita, maka ilmu Isnad ini perlu dijelaskan secara lebih rinci:
Dalam rangka memberikan kredibilitas sebuah hadits, atau narasi, daftar nama yang melekat pada setiap dokumen yang diduga menunjuk melalui siapa hadits itu telah diwariskan. Itu adalah nama rantai transmisi, yang menyatakan, saya menerima ini dari si anu yang ia peroleh dari si Fulan yang menerimanya dari sahabat nabi". (Rippin 1990:37-39)

Sementara kita di Barat menilai transmisi oral sebagai mencurigakan, tidak kredibel, namun hal ini dikembangkan dalam dunia Arab, dan wahana untuk mewariskan banyak sejarah mereka. Masalah dengan transmisi lisan adalah bahwa sifatnya, terbuka untuk suatu penyimpangan karena tidak memiliki kode tertulis atau dokumentasi untuk menguatkan itu. Dengan demikian, dapat dengan mudah dimanipulasi menurut agenda si penutur (seperti permainan anak-anak dari "kata berkait").

Dalam rangka untuk mendapatkan kredibilitas tulisannya, seorang pungumpul hadits akan mendaftarkan daftar individu terkenal Isnadnya, mirip dengan kebiasaan yang kita gunakan saat ini untuk meminta individu penting untuk menulis prakata dalam buku-buku kita. Semakin besar rantai daftarnya, semakin besar kredibilitasnya. Namun, tidak seperti kita yang menampilkan orang-orang sezaman, para penyusun abad kesembilan tidak memiliki dokumentasi untuk membuktikan bahwa sumber mereka cukup otentik. Individu-individu yang namanya mereka catut sudah lama mati, dan tidak bisa menjamin apa yang telah mereka konon katakan.

Anehnya, "isnad memiliki kecenderungan untuk terus mundur". Dalam teks-teks awal tertentu, misalnya, sebuah pernyataan akan ditemukan dikaitkan dengan khalifah dari dinasti Umayyah, atau bahkan akan tidak menyebutkan sumbernya, seperti dalam kasus hukum tertentu; namun di tempat lain, laporan yang sama akan ditemukan dalam bentuk laporan hadits dengan runutan isnad sampai ke masa Muhammad atau salah satu temannya". (Rippin 1990:38)

Karena itu, jelas tampak bahwa isnad digunakan untuk memberikan wewenang kepada hadits tertentu yang jelas berkaitan erat dengan zaman masyarakat dalam generasi-generasi setelah Muhammad, tapi seakan-akan dibingkai sebagai ucapan Muhammad sendiri". (Rippin 1990:38) Isnad dan hadits ini sendiri yang seharusnya para mufasir coba carikan otentisitasnya, bukan malah memilih mempercayainya sebagai fakta historis, yang pada gilirannya akan melemahkan apa yang hadits-hadits ini coba untuk komunikasikan (Crone 1987:214).

Karena itu jelas bahwa Isnad, bukannya menguatkan dan mensubstansikan materi yang haruskan kita temukan dalam tradisi Muslim, malahan membuat masalah otentisitas yang lebih besar. Kami ditinggalkan dengan kesadaran bahwa tanpa ada transmisi berkelanjutan antara abad ketujuh dan kedelapan, tradisi-tradisi tersebut hanya dapat dianggap sebagai gambaran dari abad sembilan dan sepuluh, tidak lebih (Crone 1987:226).

Terlebih lagi, ilmu Isnad, yang dimaksudkan untuk mengotentikasi silsilah transmisi baru dimulai pada abad kesepuluh, lama setelah isnad yang bersangkutan sudah disusun (Humphreys 1991:81), sehingga memiliki relevansi yang sedikit sekali untuk diskusi kita. Akibatnya, karena itu adalah seperti ilmu non-eksakta, aturan praktis 'untuk sejarawan paling saat itu adalah: daftar yang lebih panjang, yang meliputi nama orang terkenal, semakin membuat suatu hadis terlihat keasliannya". Oleh karena itu. kita tidak akan pernah tahu apakah nama yang tercantum dalam isnad pernah memberikan atau menerima informasi dengan yang darinya mereka dikait-kaitkan.

B8: Para Pendongeng Kisah (Kussa)

Mungkin argumen terbesar yang memberatkan penggunaan Tradisi Islam sebagai sumber adalah masalah transmisi. Untuk memahami argumen ini lebih baik kita perlu menyelidiki seratus tahun lebih sebelum jaman Ibnu Ishaq (765 M), dan setelah kematian Muhammad pada tahun 632 M, karena para pengajar Muslim, yang kepada siapa kita mendapatkan “Biografi” Muhammad, bukanlah bank memori asli dari tradisi Nabi". (Crone 1980:5)

Menurut Patricia Crone, seorang peneliti Denmark di bidang kritik sumber, kita hanya tahu sedikit tentang bahan asli, sebab tradisi-tradisi yang ada telah dibentuk kembali oleh para pengembang cerita selama satu setengah abad (Crone 1980:3). Para Pendongeng ini disebut Kussa. Diyakini bahwa mereka mengumpulkan cerita mereka dengan menggunakan model legenda Bibel yang cukup populer di sekitar dunia Bizantium pada waktu itu, serta cerita-cerita asal Iran. Dari kisah-kisah maka tumbuhlah literature mirip novel sejarah, dan bukan catatan sejarah (Levi Della Vida 1934:441).

Dalam kisah-kisah inilah ditulis contoh bahan-bahan yang ditransmisikan oleh tradisi lisan selama berabad-abad. Kisah ini ada dua jenis : Mutawatir (cerita yang diturunkan berturut-turut) dan Mashhur (cerita yang terkenal atau dikenal luas) (baca : Welch 1991:361).

Patricia Crone, dalam bukunya: Meccan Trade and the Rise of Islam, mempertahankan bahwa sebagian besar apa yang pengumpul kisah terkemudian menerima bahan-bahan itu dari para pendongeng (Kussas) yang secara tradisional adalah pengulang gudang sejarah: "Adalah para pendongeng kisah yang menciptakan tradisi Muslim. Tradisi yang terdengar seperti sejarah – yang mana mereka tambahkan dongeng-dongeng yang seharusnya tidak pernah ada."

Hal ini karena pendongeng memainkan peran penting dalam pembentukan tradisi yang ada dimana begitu kecil nilai historisitas terkandung pada kisah itu. Sebagai pendongeng satu mengikuti pendongeng lainnya, dalam ingatan masa lalu tereduksi menjadi sebentuk cerita umum, tema, dan motif yang dapat dikombinasikan dan direkombinasi dalam kisah yang sepertinya menyejarah. Setiap kombinasi dan rekombinasi akan menghasilkan rincian baru, dan sebagai akumulasi informasi palsu, sedangkan informasi asli akan hilang. Dengan tidak adanya tradisi alternatif, sarjana awal dipaksa untuk mengandalkan kisah pendongeng, seperti yang dilakukan Ibn Ishaq, Waqidi, dan sejarawan lainnya. Hal ini karena mereka bergantung pada pengulangan cerita yang sama bahwa mereka semua berkata serupa karena kisah kehidupan Muhammad tidak pernah ditulis sampai periode akhir Ummayad (sekitar tahun 750 M).

Crone percaya bahwa, "Tradisi Islam demikian merupakan sebuah monumen kehancuran daripada pelestarian masa lalu", (Crone 1980:7) dan "adalah tradisi dimana informasi yang tak berarti apa-apa dan membimbing kita ke bukan apa-apa". (Crone 1980:12) Oleh karena logis bila Tradisi Muslim sama sekali tidak dapat dipercaya karena memiliki terlalu banyak perkembangan selama transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, kita juga bisa mengulangi apa yang telah kita nyatakan sebelumnya : tradisi relevan hanya ketika mereka berbicara pada periode di mana mereka ditulis, dan tidak lebih.

Ada begitu banyak kesulitan dalam tradisi : tanggal penulisan yang terlambat sebagai naskah-naskah awal Islam, hilangnya kredibilitas karena agenda kemudian, dan kontradiksi yang jelas ketika orang membacanya, serta perkembang-biakan akibat redaksi agresif oleh pendongeng, dan ketidak-ilmiahan ilmu Isnad yang digunakan sebagai metoda pembuktian. Apakah mengherankan jika para sejarawan, sementara wajib untuk merujuk pada materi yang disajikan oleh tradisi Muslim (karena ukuran dan ruang lingkup), lebih memilih untuk mencari penjelasan alternatif ide-ide dan teori tradisional yang bisa diterima, sambil mencari bahan sumber lain lebih lanjut ?

Karena banyak muslim yang mengklaim bahwa hanya Al Qur’an saja yang bisa memberikan kita sumber otoritasnya, maka adalah wajar bagi kita, setelah melihat nature tradisi yang tidak bisa diandalkan ini, untuk kembali pada Al Qur’an, dan bukan tradisi.